Industri Petrokimia RI Tertekan, Pengusaha Desak Pemerintah Beri Perlindungan

Para pembicara dalam diskusi 'Permendag No 8 Tahun 2024, Wujud Nyata Denormalisasi Industri Petrokimia Nasional', di kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin, 8 Juli 2024
Sumber :
  • VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya

Jakarta – Para pelaku usaha industri petrokimia Tanah Air mendorong pemerintah agar bisa bersikap adil, dalam mengedepankan berbagai upaya demi kelangsungan industri yang dihadapkan pada berbagai masalah. Ketua Asosiasi Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas), Fajar Budiono mengatakan, hal itu antara lain terkait dengan ketersediaan bahan baku plastik di dalam negeri, yang hingga saat ini masih bergantung pada impor.

"Jadi kira-kira untuk industri petrokimia saat ini, pemerintah diharapkan bisa menjadi wasit yang cukup fair. Karena industri dalam negeri khususnya di bahan baku plastik sudah injury, sehingga perlu ada tindakan ekstra untuk tindakan pengamanan," kata Fajar dalam diskusi 'Permendag No 8 Tahun 2024, Wujud Nyata Denormalisasi Industri Petrokimia Nasional', di kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin, 8 Juli 2024.

Upaya perlindungan terhadap industri petrokimia itu juga harus dilakukan pemerintah, karena produk asal Indonesia masih harus bersaing dengan produk milik produsen dari negara lain yang mungkin memiliki biaya produksi lebih rendah atau teknologi lebih canggih.

Pabrik Petrokimia Gersik.

Photo :
  • Istimewa.

Misalnya produsen-produsen asal China, yang telah memiliki banyak keunggulan baik dari sisi kualitas produk maupun teknologi serta inovasi yang digunakan dalam industri petrokimianya.

"China juga sudah mulai mengimpor ethane gas, yang kalau diproduksi jadi polyethylene akan lebih murah. Jadi Cina akan bisa bersaing dengan produk-produk dari Middle East, dan nanti pasarnya yang dituju kemana? Ya ke Indonesia," ujar Fajar.

Perlindungan yang diminta Inaplas kepada pemerintah itu juga termasuk dalam aspek regulasi dan keberlanjutan. Utamanya terkait peraturan soal lingkungan dan industri, serta tuntutan untuk menjaga keberlanjutan yang otomatis akan mempengaruhi pola operasional industri petrokimia di Tanah Air.

"Dan OSS-nya masih cukup banyak bolong-bolongnya, sehingga kita tidak bisa cepat seperti apa yang kita harapkan," kata Fajar.

Kemudian dari aspek infrastruktur, para pelaku usaha juga mengeluhkan banyak jalan-jalan yang mulai macet seperti misalnya yang kerap terjadi di Pelabuhan Merak. Bahkan, Fajar mengakui bahwa kemacetan itu membuat waktu tempuh Merak ke Jakarta mencapai lebih dari 66 jam sehingga memboroskan biaya logistik

"Kemudian tantangan lain bagi industri petrokimia nasional adalah soal digitalisasi, khususnya dalam hal aspek marketing atau penjualan. Dimana persaingannya saat ini sudah sangat inovatif, sehingga model bisnis digital di Tanah Air harus bisa terus dikembangkan guna menyesuaikan, mempercepat, dan menyikapi perkembangan dari konsumen untuk pasar sekarang ini," ujarnya.