BRIN Tegaskan Pentingnya Inovasi dalam Pengurangan Bahaya Tembakau di RI

Peneliti Pusat Riset Teknologi Pengujian dan Standar dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Bambang Prasetya (paling kiri) [Istimewa]
Sumber :
  • VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya

Jakarta – Produk tembakau alternatif memiliki karakteristik profil risiko yang berbeda dengan rokok yang dibakar. Berdasarkan hasil kajian ilmiah dari Indonesia dan berbagai negara, produk tembakau alternatif termasuk produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik, memiliki profil risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan produk tembakau yang dibakar seperti rokok.

Peneliti Pusat Riset Teknologi Pengujian dan Standar dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Bambang Prasetya mengatakan, pihaknya memiliki perhatian terhadap konsep pengurangan risiko, termasuk pengurangan bahaya tembakau yang secara umum digunakan untuk merokok.

"Dalam hal ini, penelitian ilmiah dan inovasi menjadi penting karena produk tembakau alternatif berkontribusi dalam mengurangi risiko," kata Bambang, Kamis, 4 Juli 2024.

Ilustrasi usia merokok minimal 18 tahun ke atas.

Photo :

BRIN sendiri sedang melakukan penelitian di bidang produk tembakau alternatif, yang dilakukan di laboratorium independen terakreditasi. Berdasarkan hasil sementara, penelitian BRIN menunjukkan bahwa produk tembakau alternatif memiliki kandungan zat berbahaya yang jauh lebih rendah ketimbang rokok konvensional.

"Saya melihat bahwa sesuatu yang berbasis pada riset itu bisa dipakai sebagai platform untuk mengambil keputusan yang baik," ujarnya.

Senada, Prof. Amaliya, M.Sc., dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran menambahkan, pemanfaatan produk tembakau alternatif juga dapat menjadi salah satu strategi, untuk menurunkan prevalensi merokok di Indonesia yang sudah mencapai 57 juta jiwa. 

Dia mengatakan, yang terbaik bagi perokok adalah tidak menggunakan produk tembakau sama sekali. Namun, yang juga harus dipahami adalah fakta bahwa banyak perokok yang tidak bisa serta-merta meninggalkan produk tembakau sepenuhnya.

"Sehingga, produk tembakau alternatif yang tidak dibakar ini bisa menjadi opsi yang lebih baik bagi mereka," ujarnya.

Sementara Dosen Fakultas Hukum UI, Harry Prasetiyo mengatakan, para pembuat kebijakan harus mencari sumber masalah dalam merumuskan suatu aturan. Dalam konteks industri hasil tembakau, Harry mengatakan bahwa pemerintah harus memiliki pola pikir (mindset) yang baik ketika membuat aturan produk tembakau, termasuk dengan mempertimbangkan profil risiko.

"Ketika kita memakai ilmu hukum, ada yang namanya single subject rule. Ini dua objek berbeda sehingga diatur berbeda. Sehingga, di Peraturan Pemerintah (PP)-nya, saya berharap diatur secara berbeda pula," ujarnya.