Anggota Dewan Pakar Prabowo-Gibran Singgung Penerimaan Pajak RI: Saya Agak Malu

ilustrasi-pembayaran pajak
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Jakarta – Mantan Gubernur Bank Indonesia 1993-1998, Soedradjad Djiwandono menyoroti, rendahnya kinerja rasio perpajakan atau tax ratio di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, menurutnya penerimaan pajak Indonesia kalah dibandingkan dengan Laos.

Soedradjad mulanya mengatakan, tantangan untuk pemerintahan yang akan datang akan sangat besar. Salah satunya, mengenai kinerja penerimaan pajak. 

"Penerimaan pajak Indonesia terus terang jelek banget. Kita itu kalah dengan Laos, kalau saya agak malu gitu ya," kata Soedradjad dalam dalam Mid Year Banking & Economic Outlook 2024 Selasa, 2 Juli 2024. 

Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran ini pun membandingkan tax ratio di zaman Presiden Soeharto dan Presiden Jokowi. Menurutnya, saat masa kepemimpinan Soeharto tax ratio Indonesia sebesar 16 persen, sedangkan saat ini hanya 10 persen.

Mantan Gubernur Bank Indonesia 1993-1998, Soedradjad Djiwandono

Photo :
  • VIVA.co.id/Anisa Aulia

"Zaman saya di pemerintahan dulu, zaman Pak Harto tax ratio kita hampir 16 persen, kalau sekarang kok hanya 10 persen bagaimana sih? Kita harus bisa menaikkan itu," ujarnya.

Adapun pada 2023 realisasi dari tax ratio sebesar 10,32 persen. Sedangkan pada tahun 2024 ini tax ratio ditargetkan ada di angka 10,12 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Lebih lanjut dia menilai bahwa pemerintah perlu membenahi efektivitas penarikan pajak. Sebab menurutnya, saat ini sangat umum kesempatan mengakali besaran pembayaran pajak dengan melakukan tindakan ilegal bersama pihak terkait.

Ilustrasi pajak.

Photo :
  • Freepik

Dia menyebut, praktik pengurangan pembayaran pajak secara ilegal umum dilakukan di Indonesia. Sehingga menurutnya pemerintah perlu menindak tegas praktik merugikan tersebut.

“Kalau pejabatnya bilang ‘Anda punya kewajiban pajak Rp1 miliar nih, tapi bayar aja Rp 600 juta deh. Hanya Anda kasih saya Rp 200 juta ya, jadi Anda dapat Rp200 juta, saya dapat Rp 200 juta,” katanya.

Dia bahkan mengklaim bila praktik tersebut dihilangkan maka penerimaan perpajakan Indonesia bisa terkerek 2 persen. “Jadi it’s huge challenge (tantangan besar), tetapi bukan impossible untuk diselesaikan,” imbuhnya.