YLKI: Penundaan Penerapan Cukai Minuman Berpemanis Ancam Kesehatan Anak Bangsa

Anggota BPJT Unsur Masyarakat, Tulus Abadi, dalam Dialog Forum Merdeka Barat 9, Senin, 25 Maret 2024.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya

VIVA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyayangkan tertundanya penerapan cukai bagi Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) dan plastik, yang kemungkinan baru akan diberlakukan pada tahun 2025 mendatang.

"YLKI menilai bahwa penundaan dari tahun 2020 sampai 2023 ini tidak sejalan dengan urgensi masalah kesehatan dan lingkungan yang dihadapi bangsa kita saat ini," kata Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, dalam keterangannya, Kamis, 13 Juni 2024.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, sebelumnya sempat menjelaskan bahwa kebijakan MBDK ini masih dalam tahap pembahasan, dan belum dapat direalisasikan tahun ini.

Pada Februari 2020, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, juga telah menyampaikan bahwa potensi penerimaan dari cukai minuman berpemanis bisa mencapai Rp 6,25 triliun.

Ilustrasi bubble drink/bubble tea/minuman manis

Photo :
  • Pixabay/sam651030

Angka ini tidak hanya signifikan dalam mendukung penerimaan negara, tetapi juga sebagai langkah nyata untuk mengurangi konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan yang merugikan dan membahayakan kesehatan. Data terbaru Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukkan, prevalensi diabetes pada usia 15 tahun keatas meningkat 11 persen, dari sebelumya 10.9 persen.

Tulus menilai, hal ini sangat mengkhawatirkan karena anak-anak sebagai modal utama dalam mencapai Generasi Emas 2045, terancam terganggu kesehatannya sebagai dampak langsung dari konsumsi minuman berpemanis yang tinggi.

"Kami menekankan bahwa cukai terhadap MBDK seharusnya tidak lagi menjadi wacana, tetapi harus segera diimplementasikan demi melindungi generasi muda dari risiko penyakit yang serius," ujar Tulus.

Senada, Plt Ketua Harian YLKI, Indah Suksmaningsih menegaskan, berdasarkan hasil survei YLKI di 10 kota di Indonesia, sebanyak 25,9 persen anak berusia kurang dari 17 tahun mengonsumsi MBDK setiap hari, dan sebanyak 31,6 persen mengonsumsi MBDK 2-6 kali dalam seminggu.

Karenanya, Dia menilai bahwa penundaan kebijakan cukai ini berarti bahwa anak-anak kita akan terus terpapar pada produk yang berisiko tinggi terhadap kesehatan mereka. Apalagi, saat ini prevalensi diabetes dan obesitas pada anak-anak menunjukkan tren yang mengkhawatirkan.

"Tanpa adanya intervensi kebijakan yang tegas, mereka akan menjadi korban berikutnya dari kebijakan yang lambat diterapkan," ujarnya.