Puluhan Juta Tenaga Kerja Bakal Digantikan Mesin, Pemerintah Ungkap Strategi Mitigasinya

Jajaran Plh Deputi dan Asisten Deputi Kemenko Perekonomian, dalam diskusi di kantornya, kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Rabu 12 Juni 2024
Sumber :
  • VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya

Jakarta – Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan, perkembangan ekonomi digital memiliki dua sisi yang harus diperhatikan, baik di sisi ancaman maupun di sisi potensi yang bisa dimanfaatkan.

Asisten Deputi Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja (PPTK), Chairul Saleh mengatakan, dari sisi ancaman, proses otomatisasi dari beberapa jenis pekerjaan, pada akhirnya akan menggeser tenaga kerja dan digantikan dengan mesin sebagaimana yang sudah terjadi di dunia kerja saat ini.

Bahkan, dikatakannya bahwa dari berbagai sektor lapangan kerja yang diotomatisasi saat ini, sudah banyak yang berhasil menggantikan tenaga kerja manusia konvensional dengan mesin hingga berjumlah antara 70-80 juta tenaga kerja.

"Selama ini memang kita mendorong sektor-sektor industri yang padat karya dari sisi tenaga kerjanya. Tapi ke depannya, dengan kita coba mengadopsi digitalisasi, tentunya ada konsekuensi dari proses otomatisasi tersebut," kata Chairul dalam diskusi di kantornya, kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Rabu, 12 Juni 2024.

"Nah, dalam hal perkembangan ekonomi digital ini, kita enggak bisa menolak ya. Karena ini sudah menjadi keniscayaan. Kalau tidak (adaptasi), kita akan ditinggalkan," ujarnya.

Ilustrasi robot pekerja

Photo :
  • Rethink Robotics

Chairul pun menjelaskan upaya-upaya mitigasi yang bisa dilakukan guna menghadapi kondisi tersebut. Utamanya yakni penyiapan manpower atau tenaga kerjanya, melalui 3 strategi yang menjadi pilar SDM. Antara lain yakni penyiapan SDM yang berkaitan dengan sistem pendidikan, pemberdayaan tenaga kerja, dan membangun nilai-nilai budaya lifelong learning atau belajar sepanjang hayat.

"Jadi kita lihat bahwa perlu ada skill set yang harus kita set up disini, entah itu menjangkau dari pendidikan formal maupun informal. Artinya, kita harus menciptakan kesiapan dari manusianya itu sendiri," kata Chairul.

Selain itu, dengan angkatan kerja Indonesia yang jumlahnya hampir 190 juta tenaga kerja, maka impact dari potensi bonus demografi di tahun 2030 mendatang juga harus dipersiapkan. Hal itu supaya Indonesia benar-benar bisa keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah, alias middle income trap. "Artinya, produktivitas manusianya ini yang kita harus latih, berkaitan dengan skillset," ujar Chairul.

Strategi lainnya, lanjut Chairul, yakni dengan merevitalisasi sistem pendidikan Indonesia, utamanya di bidang vokasi yang dinilai lebih siap untuk bekerja. Dia menekankan, perlu ada suatu pendekatan yang terekosistem dan kolaboratif, dengan mengundang dari para pelaku usaha dan pihak industri untuk bisa memberikan masukan

"Yakni soal bagaimana kita bisa men-setup skillset yang tepat, yang dibutuhkan oleh dunia usaha industri untuk bisa diserap. Dimana salah satu faktor yang tadi menentukan adalah isu otomatisasi. Jadi artinya, tenaga kerjanya juga harus kita siapkan untuk shifting, karena semua akan terjadi otomatisasi disini," kata Chairul.

"Kemudian ada juga budaya life-long learning, dimana pemerintah telah menyiapkan berbagai program seperti misalnya Kartu Prakerja. Tujuannya yakni untuk menjangkau masyarakat yang sudah tidak menempuh pendidikan formal lagi, agar bisa didorong untuk terus belajar, enggak hanya belajar di masa-masa sekolah atau bangku kuliah saja," ujarnya.