Gabung OECD, Airlangga Pede Pendapatan Per Kapita RI Bisa Tembus Rp 193 Juta Per Tahun
- Kemenko Perekonomian
Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto meyakini, apabila Indonesia bergabung menjadi anggota Organization of Economic Co-operation and Development (OECD), maka pendapatan per kapita masyarakat Indonesia bisa mencapai US$12 ribu per tahun, atau sekitar Rp 193 juta (asumsi kurs Rp 16.145).
Apabila dihitung secara bulanan, maka saat menjadi anggota OECD nanti Airlangga memperkirakan bahwa pendapatan per kapita masyarakat Indonesia bisa berada di kisaran Rp 16 juta per bulannya.
"Roadmap pemerintah sekarang, dalam 10 tahun ke depan target kita di atas US$10 ribu. Tentu kita bisa targetkan yang lebih tinggi di US$12 ribu dalam 10 tahun ke depan," kata Airlangga di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu, 29 Mei 2024.
Bahkan dalam kurun waktu dua dekade mendatang, pendapatan per kapita itu diperkirakan masih akan terus meningkat hingga di kisaran US$36 ribu. "Kemudian dalam 20 tahun ke depan, kita tingkatkan lagi menjadi US$24 ribu sampai US$36 ribu," ujarnya.
Hal itu diperkirakan juga akan sejalan dengan peningkatan produk domestik bruto (PDB) Indonesia, yang ditargetkan bisa naik 1 persen apabila telah resmi bergabung menjadi anggota OECD. Selain itu, investasi dipastikan juga akan mengalir deras apabila Indonesia masuk dalam keanggotaan OECD tersebut.
"Target kita tentu akan ada peningkatan selain investasi, tetapi juga peningkatan PDB yang bisa sekitar 1 persen. Artinya, manfaat bagi dunia usaha, para pekerja, dan UMKM, itu juga akan mendorong ketahanan ekonomi nasional dan lapangan kerja," ujar Airlangga.
Karenanya, Dia pun menekankan pentingnya Indonesia untuk menjadi anggota OECD, supaya bisa terbebas dari kategori negara middle income trap. Menurutnya, Indonesia bisa menjadi negara maju atau negara berpenghasilan tinggi, dengan masuk dalam keanggotaan OECD tersebut.
Apalagi, lanjut Airlangga, Indonesia cukup beruntung karena bisa masuk aksesi OECD dalam waktu 7 bulan, berbeda dengan negara lain seperti misalnya Argentina yang harus melalui waktu selama 5 tahun.
"Bahkan untuk memperoleh aksesi saja, negara seperti Argentina, mulai dari berkirim surat sampai diterima aksesinya bersamaan dengan Indonesia itu 5 tahun. Nah Indonesia kemarin dalam 7 bulan," ujarnya.