Utang Pemerintah Nyaris Tembus Rp 8.000 Triliun, Ekonom Sebut Masih Aman

Ilustrasi cadangan devisa, utang luar negeri, modal asing, dan devisa hasil ekspor.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Jakarta – Utang Pemerintah tercatat nyaris mencapai Rp 8.000 triliun atau Rp 7.950,52 triliun per Oktober 2023. Posisi utang itu naik Rp 58,91 triliun, dari posisi akhir September 2023 yang sebesar Rp 7.891,61 triliun.

Merespons hal itu para ekonom menilai, meski mendekati Rp 8.000 triliun utang Pemerintah masih dalam kondisi yang aman. Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI, Teuku Riefky mengatakan utang Pemerintah tidak bisa hanya dinilai secara nominal.

"Utang dinilai dari rasio terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). Rasio utang kita terhadap PDB sekitar 38-39 persen," kata Riefky saat dihubungi VIVA Selasa, 5 Desember 2023.

Ilustrasi utang.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Menurut Riefky, dengan rasio utang RI yang saat ini ada 37,68 persen. Maka posisi utang Pemerintah masih dalam posisi yang aman, bila dibandingkan dengan negara lainnya.

"Relatif rendah dibandingkan berbagai negara lainnya yang rasio utangnya ada yang mencapai 50 persen, 60 persen, bahkan ada yang lebih dari 100 persen PDB. Sehingga utang kita masih dalam batas aman," ujarnya.

Senada dengan Riefky, Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa utang RI saat ini masih dalam posisi yang aman. Namun, rasio utang terhadap PDB belum kembali sebelum terjadinya pandemi.

Sebagai informasi, pada tahun 2019, rasio utang terhadap PDB masih di bawah 30 persen, atau tepatnya di 29,8 persen terhadap PDB.

"Artinya dalam beberapa tahun ke depan Pemerintah masih mempunyai pekerjaan rumah dalam menurunkan rasio utang, setidaknya sebelum seperti terjadinya pandemi. Dan bahkan untuk mempertahankan kesehatan atau keberlanjutan fiskal dalam jangka panjang, rasio utang tentu perlu ditekan lebih rendah jika dibandingkan dengan kondisi sebelum terjadinya pandemi," ujarnya.

Yusuf menjelaskan, untuk membayar utang juga perlu dilihat dari sisi kemampuan untuk membayar utang kembali. Salah satu ukurannya adalah bagaimana rasio pajak terhadap utang itu dinilai.

Ilustrasi utang.

Photo :
  • Pixabay/Stevepb

"Tentu kalau kita bicara rasio pajak maka Pemerintah perlu mawas, karena saat ini meskipun Pemerintah telah melakukan beragam reformasi perpajakan. Rasio pajak relatif masih rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara lain," jelasnya.

Sehingga dengan itu terangnya, ada kebutuhan untuk mendongkrak penerimaan perpajakan. Maka dari dalam jangka panjang kebutuhan belanja bisa dibiayai secara lebih masif atau lebih banyak melalui perpajakan, dibandingkan dengan penarikan ataupun penerbitan surat utang yang baru.

"Terakhir yang juga tidak kalah penting adalah bagaimana mengukur pendapatan primer yang juga bisa dilihat pada akun APBN Pemerintah," kata dia.