KNPK Tolak Pasal Zat Adiktif di RUU Kesehatan yang Dinilai Bikin Rugi Ekosistem Tembakau

Panen tembakau petani Indonesia. (ilustrasi)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Anis Efizudin

VIVA Bisnis – Pasal zat adiktif pada RUU Kesehatan yang tengah digodok oleh pemerintah dan DPR ditolak oleh Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK). Mereka menilai beleid kesehatan ini bakal mengebiri ekosistem pertembakauan nasional, sekaligus mematikan hajat hidup para tenaga kerja yang terkait dengan usaha tembakau terutama para petani.

Menurut Juru Bicara KNPK, Moddie Alvianto Wicaksono, ada beberapa ketentuan dalam draf RUU Kesehatan yang akan merugikan ekosistem pertembakauan. Di antaranya seperti pasal penyetaraan tembakau dengan narkotika dan psikotropika.

Moddie mengatakan, ketentuan ini tentu tak layak, mengingat tembakau merupakan produk yang legal dikonsumsi, sementara narkotika dan psikotropika merupakan produk ilegal dikonsumsi.

“Salah satunya ini akan berdampak dari Pasal 154 yang menyamakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika,” ujarnya dikutip Senin, 29 Mei 2023.

Petani, lanjut dia, tidak akan bisa menanam tembakau karena akan dianggap tanaman ilegal padahal nilai ekonominya sangat tinggi. “Buruh pabrik kretek dapat terkena PHK secara menyeluruh. Para perokok akan mendapatkan stigma jahat karena mengonsumsi barang ilegal,” katanya.

Ilustrasi/Petani tembakau di Jawa Timur

Photo :
  • ANTARA FOTO/Saiful Bahri

Moddie juga menilai pengaturan soal tembakau yang ada dalam draf RUU Kesehatan bukan hanya berlebihan, melainkan juga tumpang tindih dengan beberapa regulasi yang ada saat ini. Pertama soal standardisasi kemasan produk tembakau yang termaktub pada pasal 156, termasuk di dalamnya soal peringatan kesehatan.

Moddie menyebut, ketentuan soal peringatan kesehatan sudah diatur pada PP 109/2012. Sementara soal standardisasi kemasan dan jumlah batang dalam kemasan sudah diatur dalam PMK 217/2021 yang merupakan peraturan pelaksana dari UU 39/2007 tentang Cukai. Tumpang tindih antar regulasi ini tidak hanya kontraproduktif dengan tujuan pemerintah dalam upaya pemangkasan regulasi, melainkan juga dapat mengganggu iklim berusaha di tanah air. 

“Ada lagi, Pasal 157 pada RUU Kesehatan yang akan menghilangkan kewajiban dalam menyediakan tempat khusus merokok. Ini tentu sama saja dengan menghilangkan hak konstitusi perokok yang dijamin dalam UU 36/2009 atau UU Kesehatan sebelumnya. Jika sampai disahkan, maka ini akan merugikan bagi perokok dewasa. Karena bagaimanapun rokok merupakan barang legal, sehingga wajib disediakan ruang merokok,” sambung Moddie. 

Moddie menambahkan, agar pemerintah dan DPR yang tengah menggodok RUU Kesehatan ini mengeluarkan pasal-pasal terkait tembakau dari RUU tersebut. Sebab menurut Moddie imbas dari matinya Industri Hasil Tembakau bukan hanya akan dirasakan oleh pelakunya, melainkan juga bagi pemerintah sendiri. Sebab, Industri Hasil Tembakau berkontribusi hingga 10 persen dari penerimaan negara melalui pajak dan cukai atau setara Rp 260 triliun. Ini disebut belum menghitung dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja dan rantai industrinya yang imbasnya akan dirasakan oleh jutaan tenaga kerja.

“KNPK menolak RUU Kesehatan karena akan mengancam sekaligus mematikan hajat hidup pelaku industri hasil tembakau. Kami juga mendorong agar pasal terkait pengaturan produk tembakau dalam RUU Kesehatan ini bisa dicabut agar tidak menimbulkan polemik bagi Industri Hasil Tembakau,” ucap Moddie.