Pemasukan Negara dari Industri Hasil Tembakau Disebut Terancam RUU Kesehatan
- VIVA/ Yeni Lestari.
VIVA Bisnis – Keberadaan industri hasil tembakau (IHT) yang selama ini memberikan pemasukan sangat besar bagi negara disebut terancam dengan adanya Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan yang disusun dengan metode Omnibus Law.
Sebab, dalam draf rancangan beleid tersebut, salah satu permasalahan krusial yang mencuat adalah ihwal disetarakannya produk-produk legal seperti rokok dan minuman beralkohol, dengan narkotika dan psikotropika dalam satu kelompok zat adiktif.
"Padahal saat ini, narkotika dan psikotropika telah diatur oleh undang-undang tersendiri," kata Pakar Tata Negara dan Hukum Kesehatan Universitas Sebelas Maret, Sunny Ummul Firdaus, dalam keterangannya, Selasa, 4 April 2023.
Ketentuan tersebut termaktub dalam draf rancangan pasal 154 ayat (3) yang berbunyi, "..zat adiktif dapat berupa: a. narkotika; b. psikotropika; c. minuman beralkohol; d. hasil tembakau; dan e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya,".
Sunny menilai, ketentuan pukul rata zat adiktif ini harus menjadi klausul yang perlu diberikan penjelasan yang lebih komprehensif. "Tujuannya agar tidak ada multitafsir yang kelak dapat memicu masalah lebih besar," ujarnya.
Dia berpendapat, jika dua kategori produk legal dan ilegal tersebut diperlakukan serupa, maka perlu ada penjelasan secara filosofis, empiris, dan yuridis. Karena dua kelompok produk ini memiliki aspek sosio kultural yang berbeda.
Dia mengaku memahami niat Kemenkes dalam mendorong revisi RUU Kesehatan, untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Namun, jika ada dua jenis produk yang kedudukannya di hadapan hukum berbeda namun diperlakukan dengan sama, maka harus dapat dijelaskan apa maksud yang sebenarnya terkandung di dalam rancangan tersebut. "Sehingga tidak melanggar Pancasila dan UUD 1945, serta memberikan kerugian konstitusional bagi masyarakat," kata Sunny.
Selain itu, Dia juga mempertanyakan apa maksud dari ketentuan penyamarataan ini di dalam revisi RUU Kesehatan. Apakah jika RUU Kesehatan terbit dengan ketentuan tersebut, maka dapat ditafsirkan jika masyarakat dapat memilih apakah mau mengonsumsi rokok atau alkohol yang dianggap ilegal atau sebaliknya, narkotika dan psikotropika yang bisa dikonsumsi secara legal.
Sunny menekankan, revisi regulasi harus dikonstruksi secara jelas dan tegas agar tidak menimbulkan masalah baru. Selain itu, Dia juga mengingatkan bahwa ketentuan penyusunan regulasi nasional secara prosedural harus mengacu UU 12/2011, yang diperbaharui dalam UU 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan apa dampak yang akan muncul dari klausul zat adiktif tersebut jika disetujui," ujarnya.
Diketahui, revisi RUU Omnibus Law Kesehatan ini akan mencabut dan/atau mengubah sembilan undang-undang. Kesembilannya adalah UU Kesehatan, UU Wabah Penyakit Menular, UU Praktik Kedokteran, UU Rumah Sakit, UU Kesehatan Jiwa, UU Tenaga Kesehatan, UU Keperawatan, UU Kekarantinaan Kesehatan, dan UU Kebidanan. Omnibus Law Kesehatan juga mengubah UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, UU Sistem Pendidikan Nasional, dan UU Pendidikan Tinggi.