Presiden Sri Lanka: China Setujui Restrukturisasi Pinjaman
VIVA Bisnis – Presiden Sri Lanka, Ranil Wickremesinghe mengatakan, China setuju untuk memberikan restrukturisasi pinjaman kepada negara kepulauan yang bangkrut itu pada Selasa, 7 Maret 2023. Sikap China itu disebut menyelamatkan Sri Lanka dari bailout Dana Moneter Internasional (IMF) yang telah lama ditunggu-tunggu.
Sebagai informasi, krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya telah membuat 22 juta orang Sri Lanka menderita kekurangan makanan, bahan bakar dan obat-obatan. Selain itu juga terjadi pemadaman listrik yang berkepanjangan dan inflasi yang tak terkendali.
Kepala Negara Sri Lanka mengatakan, pemerintah telah bekerja untuk memperbaiki keuangan Sri Lanka yang hancur dan mengamankan paket penyelamatan IMF yang sangat dibutuhkan. Tapi hal itu tertahan oleh negosiasi utang dengan China, kreditur bilateral terbesarnya.
Kemudian, Wickremesinghe mengatakan kepada parlemen bahwa Beijing sekarang telah menyetujui restrukturisasi dan dia mengharapkan tahap pertama dari dana yang dijanjikan pemberi pinjaman yang berbasis di Washington sebesar US$2,9 miliar atau Rp 44 triliun akan dirilis dalam bulan ini.
"Kami telah melakukan bagian kami, saya harap IMF akan melakukan bagian mereka," katanya dalam pidato khusus kepada anggota parlemen, dikutip dari Channel News Asia, Selasa, 7 Maret 2023.
Wickremesinghe mengatakan, Exim Bank of China telah mengirim surat kepada IMF pada Senin malam, 6 Maret 2023, yang menandakan kesediaannya untuk melanjutkan restrukturisasi. Namun, memang belum ada konfirmasi atau pengumuman dari bank atau IMF.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Sri Lanka gagal membayar utang luar negerinya sebesar US$46 miliar atau Rp 706 triliun pada April lalu. Sekitar US$14 miliar atau Rp215 triliun dari jumlah tersebut merupakan utang bilateral kepada pemerintah asing, yang 52 persennya dimiliki oleh China.
Pemerintah Wickremesinghe juga mengadakan perjanjian tingkat staf dengan IMF untuk paket penyelamatan senilai US$2,9 miliar atau setara dengan Rp4,4 triliun, pada September lalu, tetapi pelepasannya ditunda sambil menunggu jaminan keuangan dari para kreditur.
Jepang dan India, kreditor terbesar lainnya, bersama dengan sejumlah negara kreditur lainnya yang dikenal sebagai "Klub Paris" telah memberikan jaminan awal tahun ini, dan hanya menyisakan China untuk memberikan persetujuannya.