Transisi Energi Digenjot, Investasi Migas Masih Menjanjikan?
- VIVA/Dusep Malik
VIVA Bisnis – Isu transisi energi menjadi salah satu pembahasan utama di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. Para pemimpin negara G20 sepakat untuk menggenjot upaya tersebut bahkan sejumlah komitmen pendanaan juga tercapai.
Lantas bagaimana investasi di sektor migas ke depannya? Masihkah menjanjikan?
Menurut Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, ke depannya investasi di sektor migas masih masih sangat menjanjikan dan diminati. Karena, sampai saat ini perekonomian global juga masih ditopang oleh hal tersebut.
“Saat ini pemanfaatan EBT pun lebih banyak bersifat intermiten, dan belum bisa menjadi base load kecuali geothermal, PLTA, ataupun energi nuklir,” kata Mamit saat dihubungi VIVA Bisnis, Jumat, 18 November 2022.
Apalagi, EBT yang bersifat intermiten itu tentunya juga memerlukan energi storage ataupun baterai, sehingga dibutuhkan investasi yang sangat besar.
Investasi Migas Masih Berkontribusi Besar bagi Ekonomi Global
Karena itu, Mamit memastikan bahwa investasi migas ke depannya masih sangat menarik, karena masih memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian global. Bahkan bagi Indonesia, pemerintah pun masih bergantung terhadap penerimaan negara di sektor migas tersebut.
"Sampai saat ini, pemerintah masih menggunakan pendapatan dari sektor migas sebagai penerimaan negara. Harusnya ke depan penerimaan dari sektor migas bisa menjadi penggerak perekonomian, sehingga efeknya bisa lebih besar," ujarnya.
Ia mengatakan, meskipun pemanfaatan energi bersih adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan terjadi, namun implementasinya tentu membutuhkan proses dan masa transisi.
Migas Belum Bisa Tergantikan
Dalam memenuhi kebutuhan energi di masa transisi itu, Mamit menilai bahwa peran energi gas tentunya sangat penting sebagai energi yang lebih bersih, meskipun masih berasal dari energi fosil.
"Jadi saya kira, sampai saat ini belum ada yang benar-benar bisa menggantikan posisi dari energi fosil, terutama di sektor BBM. Karena di sektor BBM ini kan belum benar-benar ditemukan teknologi yang bisa firm (tegas) untuk menggantikan BBM," katanya.
Di sisi lain, Mamit menilai bahwa apabila nanti penggunaan kendaraan listrik mulai marak, hal itu pun masih harus dilihat sumber listrik yang digunakan untuk mengisi dayanya.
"Meskipun nanti BBM-nya bisa dialihkan ke mobil listrik pun, kita juga harus melihat listriknya berasal dari apa. Apakah benar dari energi terbarukan ataukah masih dari PLTU," ujarnya.
Di sisi lain, Mamit menjelaskan bahwa kebutuhan akan Petrokimia pun ke depannya masih akan meningkat. Karena, saat ini substitusi dari barang-barang yang dihasilkan Petrokimia, yang notabene berasal dari minyak mentah, juga masih belum ada penggantinya.
"Sehingga Petrokimia ini masih dibutuhkan, dan memang berasal dari minyak tersebut. Jadi saya kira memang transisi EBT dan energi fosil ini harus berjalan berdampingan, dan saling melengkapi satu sama lain sampai nanti benar-benar siap," kata Mamit.