Arcandra Tahar Ungkap 2 Peristiwa Penting yang Bakal Menguji Harga Energi Dunia
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
VIVA Bisnis – Dalam dua hari terakhir harga minyak dunia tercatat turun hingga mencapai 3 persen. Kondisi itu disebabkan oleh kegalauan dari permintaan minyak dari negara importir besar seperti China akibat kembali meningkatnya kasus COVID-19, di tambah dengan data peningkatan pasokan BBM yang terjadi di Amerika Serikat.
Atas situasi tersebut, Mantan Menteri ESDM, Arcandra Tahar menyampaikan pendapatannya terkait beberapa peristiwa yang akan pengaruhi harga minyak dunia ke depannya, seperti dikutip VIVA Bisnis melalui media sosial instagramnya, pada Jumat 11 November 2022.
Arcandra mengatakan krisis energi yang melanda dunia hari ini merupakan krisis multi dimensi yang tidak pernah terjadi dan terpikirkan sebelumnya. Sebab, jika melihat krisis energi yang terjadi pada 1970an hanya ada satu dimensi yang terganggu akibat suplai minyak dari timur tengah ke Amerika Serikat.
Baca juga: Kekhawatiran COVID-19 China dan Peningkatan Stok BBM AS Buat Harga Minyak Anjlok Lagi
Dengan demikian, pada waktu itu AS mengatasinya dengan sederhana yaitu mengurangi ketergantungan impor minyak dengan cara melakukan eksplorasi dan produksi minyak di dalam negeri sendiri. Dan upaya itu berjalan baik dengan naiknya produksi minyak di AS, bahkan saat ini lebih besar dari produksi minyak dari Arab Saudi.
Tapi, situasi tersebut tentunya jauh berbeda dengan kondisi yang terjadi saat ini, di mana krisis energi menjalar ke masalah gas alam, batu bara, kelistrikan dan pangan. Belum lagi isu perubahan iklim yang juga erat kaitannya dengan krisis energi saat ini.
“Kerumitan inilah yang sedang melanda dunia setelah optimisme akan terkendalinya wabah COVID-19 menampakan titik terang,” ungkap Arcandra.
Saat ini, krisis itu terjadi dibanyak negara di Eropa. Salah satu faktor utama dari krisis Eropa adalah suplai gas yang tidak mencukupi kebutuhan selama musim dingin akibat perang Rusia dan Ukraina.
Ditambah lagi, embargo terhadap komoditas energi dari Rusia yang dilakukan oleh negara-negara Barat, berbalik arah menjadi sebuah krisis energi yang melanda Eropa.
Dan atas keputusan eropa itu, beberapa negara justru menghidupkan kembali PLTU dan memperpanjang masa pengoperasian PLTN yang semula dijadwalkan untuk pensiun padahal jelas hal itu mengganggu isu perubahan iklim.
“Ini berarti kebutuhan Eropa terhadap batu bara akan naik. Sayangnya kebutuhan batu bara yang selama ini di suplai oleh Rusia juga terhenti akibat embargo oleh EU sendiri,” jelasnya.
Menurut data yang Arcandra peroleh, sejak Agustus 2022 sudah tidak ada lagi batu bara yang masuk ke Uni Eropa. Akibatnya harga batu bara mencapai level tertinggi dalam sejarah pada awal September 2022. Dan data perdagangan Senin 5 September 2022 mencatat harga batu bara kontrak Oktober di pasar ICE Newcastle ditutup di US$463,75 per ton.
Untuk itu, Arcandra kemudian bertanya apakah Eropa bisa atasi hal itu dalam waktu dekat? atau malah sebaliknya, makin dalam dan bisa tidak terkendali, sebab ada dua peristiwa penting yang akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan, yaitu:
Pertama, Desember 2022 adalah batas akhir yang diputuskan oleh Uni Eropa untuk menghentikan seluruh impor minyak mentah dari Rusia ke negara-negara Eropa. Padahal, pada September 2022 masih mengimpor minyak mentah sebesar 2.6 juta barel per day (bpd) dari Rusia atau sekitar 2,6 persen kebutuhan minyak dunia.
Dari kondisi itu, maka tentu Uni Eropa harus mencari pengganti minyak mentah 2,6 juta barel per day selain dari Rusia, sedangkan Rusia harus mencari pasar baru untuk mengganti yang tidak terserap dari Eropa dan itu akan terjadi pergerakan perdagangan minyak mentah dunia yang masif dan membuat harga bergejolak.
Kedua, adalah pada Februari 2023 adalah batas akhir yang diputuskan oleh Uni Eropa untuk menghentikan seluruh impor BBM (middle distillate) dari Rusia ke negara-negara Eropa. Keputusan itu sama seperti minyak mentah, BBM dari Rusia ini akan mencari pasar selain eropa, sementara eropa akan mencari BBM yang bukan berasal dari Rusia.
“Dua peristiwa yang kemungkinan besar akan terjadi tentu akan berdampak terhadap harga energi ke depan. Masing-masing negara akan mencermati dan memitigasi risiko-risiko yang mungkin muncul akibat dari dua peristiwa ini. Dan perlu kita simak dan belajar pada strategi OPEC+,” ujarnya.