Terhambat di Uni Eropa, RI Punya Potensi Alihkan Pasar CPO ke Asia dan Timur Tengah
- ANTARA/Syifa Yulinnas
VIVA Bisnis – Indonesia punya potensi mengalihkan ekspor produk minyak sawit atau crude palm oil (CPO) ke negara-negara seperti di Asia dan Timur Tengah. Hambatan ekspor CPO Indonesia oleh Uni Eropa membuat nilai ekspor produk tersebut kian menurun.
Menurut Direktur Pengamanan Perdagangan Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Natan Kambuno, ada kecenderungan penurunan nilai ekspor produk minyak sawit tiap tahun.
Hal tersebut terjadi setelah Uni Eropa memberlakuan kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II. Ia mengungkapkan, nilai ekspor produk minyak sawit semakin turun terutama dalam dua tahun terakhir.
"Pada 2020, nilainya tercatat US$2,9 miliar, lalu pada 2021 US$2,8 miliar," kata Natan dalam Focus Group Discussion (FGD) dikutip Rabu, 2 November 2022.
Natan menambahkan, kebijakan RED II diterapkan oleh Uni Eropa sejak Desember 2018. Kebijakan tersebut diskriminatif terhadap produk minyak sawit Indonesia.
Seperti Perjanjian Hudaibiyah
Sementara itu, ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi mengatakan, kebijakan yang dinilai diskriminatif tersebut bisa jadi mendatangkan peluang terbukanya pasar minyak sawit di negara lain.
"Ibaratnya seperti Perjanjian Hudaibiyah, seolah-olah merugikan kita, tapi bisa jadi mendatangkan kebaikan lain. Uni Eropa tutup pintu, pintu lain negara-negara non-tradisional seperti di Asia dan Timur Tengah masih terbuka," ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Menurutnya, penting menjajaki pasar non-tradisional dinilai penting karena produksi sawit Indonesia diperkirakan akan terus meningkat. Itu seiring pembentukan direktorat yang khusus mengurus sawit di bawah Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian. Direktorat ini digagas setelah Andi Nur Alam Syah ditunjuk sebagai Dirjen Perkebunan.
Fithra Faisal menambahkan, hambatan ekspor produk minyak sawit dan biofuel asal Indonesia bisa jadi bagus untuk pengembangan produk tersebut di dalam negeri.
"Batasan itu bagus untuk ketersediaan di dalam negeri. Kita kan juga butuh untuk mengembangkan produk hilirnya," imbuhnya.
Kebijakan RED II yang diberlakukan Uni Eropa membuat batasan dan mengategorikan biofuel berbahan baku kelapa sawit sebagai high indirect land use change (ILUC) risk. Karena menyebabkan alih fungsi lahan atau ekspansi signifikan terhadap lahan dengan stok karbon tinggi ke area produksi.
Selain itu, Uni Eropa memberlakukan penghentian biofeul berbahan baku minyak kelapa sawit secara bertahap hingga 2030 atau yang disebutnya Phase Out 2030. Uni Eropa juga menetapkan konsumsi penggunaan energi berbahan baku food and feed corps untuk transportasi tidak boleh melebihi tujuh persen sejak 2020.