Pelaku Industri Hasil Tembakau Harus Dilibatkan dalam Revisi PP 109/2012
- ANTARA FOTO/Saiful Bahri
VIVA – Kementerian Kesehatan saat ini tengah menggodok revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Namun, proses penggodokan yang dilakukan Kemenkes tanpa melibatkan para pelaku usaha tembakau di industri hasil tembakau (IHT), dinilai melanggar prosedur hukum karena tidak adanya partisipasi yang bermakna seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Airlangga, Gitadi Tegas Supramudyo menjelaskan, keterlibatan pemangku kebijakan dalam penyusunan kebijakan publik sangat diperlukan, agar regulasi yang diterbitkan komprehensif. Hal ini bukan hanya formalitas belaka, melainkan memang diwajibkan oleh Undang-undang.
Baca juga: Salim Group Sah Jadi Investor Bumi Resources
"Regulasi pengendalian tembakau dalam penerapan PP 109/2012 memang domain Kementerian Kesehatan. Namun untuk menjamin komprehensivitas serta efektivitas regulasi, para pemangku kebijakan regulasi perlu dilibatkan. Jika tidak, regulasi tidak akan efektif," kata Gitadi dalam keterangan tertulisnya, Selasa 11 Oktober 2022.
Polemik terkait revisi PP 109/2012 kembali mengemuka setelah Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (KemenkoPMK) menggelar uji publik pada Juli 2022 lalu. Pada uji publik ini, hanya segelintir pelaku IHT yang turut diundang, dimana bahkan peritel mengaku tak pernah dilibatkan sekalipun dalam pembahasan revisi.
Uji publik tersebut juga dihadiri oleh Wakil Menteri Kesehatan, Dante Wibowo, yang menyebut bahwa poin-poin usulan revisi PP 109 Tahun 2012 termasuk perbesaran gambar peringatan kesehatan menjadi 90 persen dari yang saat ini 40 persen. Namun, tidak ada Kementerian lain yang turut diundang pada uji publik tersebut, selain Kementerian Kesehatan.
Gitadi menambahkan, jika Kemenko PMK dan Kementerian Kesehatan memaksakan revisi regulasi terbit, mata rantai IHT bakal terancam. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap pendapatan negara, terlebih cukai hasil tembakau menopang hampir 10 persen pemasukan negara.
"Kemenkes harus melibatkan pelaku kepentingan mata rantai tembakau. Indonesia memiliki mata rantai IHT yang panjang, tidak seperti negara lain. Nah, ini sulit dilakukan di Indonesia, terlebih pemerintah juga masih mengandalkan pemasukan dari cukai tembakau," ujarnya.
Senada, Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Roberia menjelaskan, kajian dan analisis dampak regulasi merupakan prosedur wajib untuk dipenuhi, dalam penyusunan kebijakan-kebijakan nasional. Hal ini merupakan prosedur yang berlaku untuk semua jenis usulan kebijakan, tidak terkecuali tentang tembakau.
"Kajian dan analisis itu wajib dan sudah menjadi prosedur tetap (protap) dalam setiap penyusunan kebijakan. Tidak boleh jika tidak ada kajian dan analisisnya. Mau peraturannya hanya 10 halaman, 20 halaman, itu wajib ada kajian dan analisisnya," ujarnya.