DPR Minta Transparansi Perundingan Batas ZEE Indonesia-Vietnam

Kompleks Gedung MPR DPR dan DPD RI (Ilustrasi)
Sumber :
  • vivanews/Andry

VIVA Bisnis – Perundingan mengenai penetapan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) antara Indonesia dan Vietnam, telah berlangsung cukup lama. Sejak pertama kali diadakan pada 21 Mei 2010, pertemuan yang sudah dilakukan belasan kali oleh kedua negara itu kini mulai mencapai titik terang.

Tim Teknis Indonesia dan Vietnam telah melakukan perundingan ke-14 pada pertengahan Juli 2022 lalu. Kabarnya, saat ini Indonesia sudah siap untuk membuat konsesi, guna mempermudah proses negosiasi.

Karena itu, Anggota DPR RI Fraksi Partai NasDem, Syarief Abdullah Alkadrie, meminta pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri, agar melibatkan DPR dalam dialog perihal sengketa maritim antara Indonesia dengan Vietnam itu.

"Ini masalah kedaulatan, hal yang tidak bisa ditawar-tawar. Sehingga kewajiban DPR RI untuk terlibat, karena merupakan perwakilan rakyat," kata Syarief dalam keterangannya, Jumat 16 September 2022.

Syarief meminta Kementerian Luar Negeri memberikan penjelasan kepada Komisi I DPR RI dan publik, terkait perkembangan dan hasil dari negosiasi yang dilakukan antara Tim Teknis Indonesia dan Vietnam tersebut. Karena, dia menilai bahwa proses perundingan antardua negara ini tidak transparan.

Berdampak pada Ekonomi Negara hingga Nelayan

Menurut Syarief, penetapan batas ZEE ini akan berdampak pada dua sisi, yakni dari segi kedaulatan dan juga segi ekonomi. Dari segi kedaulatan, pertama perlu diketahui bahwa penetapan batas wilayah negara merupakan isu yang sensitif karena menyangkut hajat orang banyak.

Kedua dari segi ekonomi, Indonesia sebagai negara maritim yang kaya sumber daya laut, tentu sangat bergantung pada sektor kelautan dan perikanan untuk mengisi kas negara dan juga demi kestabilan ekonomi.

Bahkan dari segi individual sekalipun, Syarief meyakini akan ada banyak nelayan yang terdampak, apabila konsesi ini menjadi persetujuan bersama. Dalam perundingan, kubu nelayan akan menjadi kelompok yang paling dirugikan. Hal itu sebagaimana pernyataan dari organisasi nelayan tradisional, yakni Serikat Nelayan Indonesia (SNI). 

"Ini berarti Indonesia kehilangan wilayah, hak berdaulat kita dirugikan, daerah penangkapan ikan diperkecil, sehingga sumber daya perikanan dikurangi. Hal ini dikarenakan wilayah nelayan untuk memancing akan berkurang secara signifikan, dan secara efektif akan mengurangi pendapatan mereka juga," kata Syarief.

"Probabilitas akan mandeknya ekonomi di sektor perikanan ini perlu dievaluasi lagi oleh pihak Indonesia, agar jangan sampai negara kita yang justru dirugikan. Jadi pentingnya ada evaluasi ulang oleh pemerintah agar negara dan rakyat kita tidak dirugikan," ujarnya.