Dua Solusi yang Bisa Dipertimbangkan untuk Atasi Masalah Minyak Goreng
- tvOne/Teguh Joko Sutrisno
VIVA – Dua solusi untuk mengatasi masalah kelangkaan minyak goreng direkomendasikan oleh Chakra Giri Energi Indonesia (CGEI). CGEI merupakan salah satu perusahaan konsultan energi berkelanjutan.
Solusi pertama yang diusulkannya adalah pengolahan limbah minyak konsumsi atau minyak jelantah yang dapat digunakan untuk bahan bakar diesel. Hal ini disebut sebagai bentuk recycle dan penghematan.
Menurut Direktur Utama CGEI Herman Huang, pengumpulan limbah dengan model bank sampah dan memberikan insentif dapat digunakan di lingkungan perkampungan.
Selain itu, sektor food chain juga dapat berkontribusi dengan membuat kontrak kecil terhadap pengumpulan minyak bekas dengan mobil tangki ukuran sedang atau drum container.
Langkah ini juga dapat menangani dampak pembuangan minyak ke aliran air atau diolah dengan cara yang tidak tepat, secara jangka panjang. Langkah ini masih perlu adanya studi lanjutan, kelayakan, dan kesadaran serta minat pelaku masyarakat.
Usulan kedua adalah pengaturan volume sementara yang diperlukan jika terdapat kejelasan akan dampak B30 terhadap ketimpangan konsumsi masyarakat dalam jangka pendek. Hal tersebut dapat dilakukan dengan kesepakatan antara sektor Perdagangan dengan ESDM.
"Dengan adanya kenaikan kebutuhan CPO yang dikonversi menjadi bahan bakar diesel ini menimbulkan berkurangnya pasokan CPO untuk keperluan lain atau ada kemungkinan indikasi lain," ujar Herman dikutip dalam keterangan tertulis, Minggu, 12 Juni 2022.
Ia menegaskan, polemik berkepanjangan sudah banyak baik dari pihak pengusaha besar dunia ‘persawitan’, ESDM, Kementrian Perdagangan, pelaku transportasi darat serta para komentator kebijakan dan pengamat. Indikasi – indikasi tersebut seperti di bawah ini:
- Kelangkaan minyak goreng (untuk masakan) bisa terjadi akibat kurangnya volume CPO yang dapat diolah ataukah ada indikasi kesengajaan untuk tujuan meraih keuntungan dalam jangka pendek.
- Harga CPO naik sekitar 36,3 persen sepanjang 2021 dari tahun sebelumnya (2020). Dinyatakan dalam rapat antara GIMNI dan DPR bahwa ada empat faktor yang menyebabkan naiknya harga CPO yaitu akibat jangka menengah pandemi COVID-19 dan juga faktor cuaca, indikasi adanya spekulasi dan eratnya hubungan CPO dan minyak (goreng) makan yang secara alami sebenarnya ada sumber lain minyak goreng selain CPO.
"Namun hampir 4 dekade terakhir minyak makan dari kelapa sawitlah yang mendominasi pasar konsumsi," katanya.
- Jenis minyak goreng untuk makanan sangat beragam mulai dari high-end/jenis mahal dengan tag kesehatan, menengah dengan merek atau brand yang kuat, kemudian beberapa brand yang baru mulai masuk pasar, sampai ke minyak makan curah dalam kemasan drum.
- Kelangkaan atau naiknya harga minyak makan bisa mendorong kecenderungan pemakaian berulang ulang, bahkan merembet ke pasar daur ulang yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
- Adanya kenaikan harga CPO juga menyebabkan kelangkaan minyak makan yang menyebabkan adanya disparitas harga antara DPO, HET, dengan harga pasar yang berkisar Rp. 8000 – 9000/kg
- Bagaimanakah jika kelangkaan minyak makan di luar akibat spekulasi sesaat yang mungkin tidak bertahan lama tapi juga diakibatkan peningkatan program B30 dari semula B20 saja.
Ia juga melanjutkan, ada polemik bahwa minyak makan yang sudah terpakai jika dikumpulkan dalam jumlah cukup besar baik dari masyarakat rumah tangga biasa atau franchise fast food dapat diolah menjadi sumber bahan baku nabati untuk biodiesel juga.
“Jika ini dimungkinkan maka kebutuhan minyak makan terpenuhi, buangannya menjadi sumber bahan bakar biodesel lain. Suatu solusi ‘win-win” untuk jangka waktu yang lebih panjang," paparnya.