Harga Minyak Meroket, Pengamat: Jangka Pendek Pertalite Jangan Naik

bbm pertalite di spbu abdul muis
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA – Harga minyak dunia yang meroket akibat ketegangan Rusia-Ukraina harus disikapi pemerintah dengan hati-hati. Sehingga, keputusan pemerintah untuk mempertahankan harga Pertalite menjaga daya beli masyarakat sudah tepat. 

Namun, kondisi tersebut juga perlu diperhatikan dalam jangka panjang. Sebab, kebijakan subsidi yang cukup besar tersebut tidak bisa terus menerus dilakukan setiap tahunnya karena membebankan anggaran negara.

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede mengatakan kebijakan penetapan harga BBM harus dilihat dari latar belakang di mana pemerintah berupaya melindungi daya beli masyarakat yang belum benar-benar pulih akibat pandemi COVID-19. 

Baca juga: Sri Mulyani Akui 20 Tahun Desentralisasi Fiskal Banyak PR, Apa Saja?

Dengan demikian, menjaga inflasi domestik tetap rendah, agar daya beli masyarakat terjaga, menjadi salah satu tujuan dari pemerintah dalam menjaga harga BBM Pertalite. 

“Kami menilai, dalam jangka pendek, kebijakan ini dapat dilakukan pemerintah untuk menjaga daya beli, namun tidak untuk kebijakan yang bersifat jangka panjang dan setiap tahunnya harus terus disubsidi,” kata Joshua, kepada media dikutip Jumat, 11 Maret 2022.
 
Menurut Josua, kebijakan subsidi BBM yang dilakukan setiap tahun menjadi kontraproduktif terhadap anggaran, mengingat subsidi BBM merupakan kegiatan konsumtif dan subsidi cenderung tidak tepat sasaran kepada masyarakat miskin dan menengah ke bawah.  

Selain itu, disparitas harga yang tinggi berpotensi menimbulkan distorsi pasar dan tindakan menyalahgunakan subsidi seperti menjual ke industri, penyelundupan, dan sebagainya.

Josua menambahkan, ada dua justifikasi dari pemberian subsidi BBM jenis Pertalite dalam jangka pendek saat ini. Pertama, dengan kondisi pandemi COVID-19 banyak masyarakat rentan miskin dan menengah ke bawah yang semakin memburuk kondisi ekonominya di tengah pandemi ini. 

Kelompok ini cenderung minim mendapatkan program perlindungan sosial dari pemerintah. Dengan demikian, mempertahankan daya beli kelompok ini menjadi penting agar pemulihan ekonomi terjaga. 

“Akan tetapi, apabila perekonomian kembali ke level normalnya, pemerintah dapat kembali menyesuaikan kebijakan subsidi BBM ini,” katanya.

Justifikasi kedua, kata dia, kondisi harga minyak saat ini bisa dikatakan abnormal akibat dampak dari tensi geopolitik yang meningkat yakni perang antara Rusia-Ukraina. 

Ke depan, peningkatan tensi geopolitik ini diperkirakan kembali mereda dan pada akhirnya akan menurunkan harga minyak mentah dunia kembali ke rata-rata harga jangka panjangnya. 

“Di tengah kondisi abnormal ini, pemerintah berupaya untuk menekan dampaknya pada perekonomian domestik dengan memberikan subsidi BBM Pertalite,” ucapnya. 

Sementara itu, Kementerian Keuangan telah memastikan bahwa harga Pertalite tetap dijaga di Rp7.650 kendati angka keekonomian BBM dengan kadar oktan (real octane number/RON) 90 itu mencapai Rp11.00-an per liter. 

Jika dibandingkan dengan badan usaha swasta lain yang beroperasi di Indonesia, harga Pertalite masih paling murah karena pesaing menetapkan banderol rata-rata di atas Rp10.000 per liter. 

Saat ini, Pertalite memang belum menjadi BBM penugasan, namun apabila ke depan akan ditetapkan sebagai BBM penugasan, selisih antara biaya produksi dan harga jual penetapan sepenuhnya akan diganti oleh pemerintah.  

Akan tetapi, dengan Pertalite disubsidi, terdapat risiko peralihan konsumsi BBM dari sebelumnya BBM nonsubsidi ke BBM subsidi. Dengan demikian, ada potensi kenaikan jumlah konsumsi Pertalite di masa mendatang, apalagi jika disparitas harga cukup tinggi. 

“Upaya kontrol tetap perlu dilakukan melalui pembatasan volume dan konsumsi, agar pemerintah mengetahui apakah terjadi kebocoran atau tidak dalam penyaluran BBM penugasan ini,” ujarnya.

Petugas mengisi kendaraan konsumen dengan BBM jenis Pertalite di SPBU Cikini

Photo :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Sementara, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya W Yudha, mengatakan  Pertamina sebagai badan usaha harus memastikan agar pasokan BBM jenis Pertalite tetap tersedia di pasaran. Hal ini penting mengingat terjadi disparitas harga Pertalite dengan BBM jenis Pertamax yang lebih mahal. 

“Pengawasan ini penting untuk mencegah adanya potensi tindakan dari pihak yang ingin mengambil keuntungan sepihak seperti mengoplos atau penimbunan BBM. Pengaturan penggunaan Pertalite itu jadi kepentingan bersama,” ujar Satya.

Perlu diketahui, konsumsi Pertalite dalam dua tahun terakhir terus meningkat. Sepanjang 2021, konsumsi Pertalite mencapai 23 juta Kilo Liter (KL), naik 30 persen dibandingkan 2020 yang tercatat 18 juta KL.  

Tahun ini konsumsi Pertalite diperkirakan bertambah seiring gejolak harga minyak dunia yang menyebabkan kenaikan harga BBM jenis oktan tinggi. Pasokan Pertalite berasal dari PT Kilang Pertamina Internasional (KPI)-Subholding Petrochemical & Refining Pertamina. 

Sekretaris Perusahaan KPI, Ifki Sukarya, mengatakan KPI memasok Pertalite ke PT Pertamina Patra Niaga-Subholding Commercial & Trading Pertamina, sesuai dengan permintaan. 

Pertalite yang dipasok KPI adalah bahan bakar minyak dengan kadar oktan (RON) 90. “KPI mengolah minyak mentah menjadi Pertalite di kilang Dumai, Plaju, Cilacap, Balikpapan, dan Balongan,” ujarnya.