Kenaikan Cukai Rokok Hantam Industri, Roadmap IHT Diperlukan

Rokok.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Kenaikan cukai rokok sebesar 12,5 persen akhir tahun 2021 dinilai tidak berpengaruh dalam mengurangi prevalensi masyarakat merokok. Menaikkan cukai rokok setinggi apapun disebut tidak akan mengurangi jumlah anggota masyarakat merokok, jika tidak diikuti kesadaran masyarakat untuk berhenti merokok. 

Sebab, merokok sampai saat ini masih menjadi budaya yang erat terutama di kalangan masyarakat. sehingga masih susah untuk dihentikan hanya melalui program kenaikan cukai.

“Masyarakat tetap akan merokok, tetapi kalau rokoknya mahal karena cukai rokoknya dinaikkan, maka masyarakat akan beralih ke rokok lintingan atau rokok ilegal,” papar Sosilog Universitas Airlangga yang juga dosen tetap di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Umar Solahudin, kepada di Jakarta kepada media, dikutip Jumat, 25 Februari 2022. 

Lebih lanjut dia menegaskan, tidak setuju dengan kebijakan Pemerintah menaikkan cukai rokok. Alasannya, selain tidak berpengaruh positif pada penurunan jumlah masyarakat merokok, lalu lambat laun akan mematikan kesempatan kerja baik bagi buruh industri rokok maupun petani tembakau itu sendiri.

“Kecuali kalau Pemerintah sudah siap dengan lapangan pekerjaan pengganti bagi jutaan tenaga kerja di sektor industri rokok dan mata pencaharian  pengganti bagi petani tembakau. Dan tentu saja mencari pengganti lapangan pekerjaan dan mata pencaharian bagi petani tembakau itu bukan hal yang mudah. Apalagi  di saat ekonomi mengalami krisis seperti saat ini,” paparnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum  Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Ahmad Guntur. Menurutnya, kebijakan Pemerintah menaikkan cukai rokok sebesar 12,5 persen ini terlalu besar. 

“Sekiranya Pemerintah membutuhkan dana dari cukai rokok. Kenaikannya idealnya tidak lebih dari 8 persen,” papar Ahmad Guntur.

Sementara itu, Dosen Universitas Negeri Jember  Fendy Setyawan. Menurutnya, mengalihkan mata pencaharian dari pertanian atau perkebunan tembakau ke sektor lain, bukan pilihan yang mudah bagi kalangan petani tembakau. Alasannya tidak semua lahan itu cocok untuk selain tembakau yang memiliki nilai ekonomi.

Meskipun kenaikan cukai menguntungkan Pemerintah, karena mendapatkan tambahan dana untuk membiayai pembangunan. Menurut Fendy, kenaikan cukai rokok sebesar 12,5 persen justru menurunkan pendapatan masyarakat petani tembakau termasuk buruh rokok itu sendiri.

“Implikasi dari adanya kenaikan cukai rokok ini  justru akan menurunkan tingkat pendapatan masyarakat tembakau terutama di sektor petani,“ papar Fendy.

Ditegaskan Umar Solahudin, untuk mengurangi prevalensi masyarakat merokok, bukan dengan cara menaikkan cukai rokok. Melainkan dengan membangun kesadaran masyarakat  akan bahaya merokok. Jika kesadaran dalam diri masyarakat sudah timbul, masyarakat akan dengan mudah mengurangi bahkan menghentikan konsumsi rokoknya.

“Yang lebih penting lagi adalah penegakan hukum. Jika ada Kawasan dilarang merokok, maka hukum harus ditegakkan. Sehingga, jika ada anggota masyarakat yang melanggar aturan, merokok di daerah Kawasan dilarang merokok, diberikan hukuman. Sehingga menimbulkan efek jera. Sekarang kan tidak, Ada perda soal Kawasan tanpa rokok, tapi tidak dijalankan dengan baik,” papar Umar Solahudin.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut baik Umar, Guntur maupun Fendy sepakat, Pemerintah perlu membuat roadmap atau peta jalan industri rokok nasional. Roadmap tersebut perlu dibuat bersama antara pemerintah dengan pelaku industri rokok, petani tembakau dan tenaga Kesehatan.

Petani menjemur daun tembakau di Sidomulyo, Senden, Selo, Boyolali, Jawa Tengah. (Foto ilustrasi)

Photo :
  • ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho

Roadmap sangat penting untuk melindungi keberlangsungan industri rokok Nasional yang mana pembuatan roadmap tersebut harus melibatkan stakeholder terkait, “ tegas Guntur.

Sementara itu Fendy menilai, roadmap Industri Hasil Tembakau atau IHT itu penting karena pada setiap satu perencanaan itu akan bisa kita lihat dan evaluasi serta pencapaiannya bisa diukur.  

“Karena jangan sampai hanya atas nama kesehatan potensi sumber daya yang kita miliki dan keberlangsungan IHT ini terdampak, karena kaitannya hulu hilir ini kan sangat jelas untuk IHT, dan ini spesifik geografis terkait dengan bahan baku. Artinya itu menjadi sumber daya yang tidak semua negara mampu untuk mengadakan ini,” tegasnya.

Ditambahkan oleh Umar Solahudin, dengan adanya roadmap, akan terpampang lebih jelas masa depan IHT nasional ke depan seperti apa. Termasuk upaya upaya apa yang perlu dilakukan Pemerintah, agar muncul kesadaran dari dalam diri masyarakat sendiri untuk mengurangi konsumsi rokok. 

"Termasuk melibatkan petani tembakau dan aktivis Kesehatan. Bukan hanya dibuat oleh pihak pemerintah tanpa berdiskusi dengan pihak lain,” tutupnya.