KSPN Jelaskan Aturan JHT 56 Tahun Sesuai Amanat UU SJSN

Ilustri pekerjaan/karier.
Sumber :
  • Freepik/mindandi

VIVA – Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No 2 Tahun 2022 tentang Cara dan Persyaratan Pembayaran Jaminan Hari Tua (JHT) bikin heboh berbagai kalangan pekerja saat ini. Namun aturan itu dinilai sudah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Ristadi di Jakarta, mengatakan, Permenaker 2/2022 yang akan berlaku pada 4 Mei 2022, sebenarnya adalah perintah dari pasal 37 UU 40/2004.  

“Filosofi JHT kan memang untuk meng-cover ketika peserta memasuki masa tua, atau pensiun,” kata  Senin, 14 Februari 2022.

Menurut Ristadi, pada pasal itu disebutkan bahwa manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.

“Secara yuridis dan filosofis pemerintah tidak salah, situasinya saja yang belum tepat,” ujarnya.

Sementara itu lanjut dia, Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dibuat Pemerintah untuk menyiasati pekerja yang kehilangan pekerjaan juga belum sepenuhnya mampu memenuhi keinginan buruh. Dan masih perlu kejelasan serta sosialisasi yang matang.

Ilustrasi pekerja menggali tanah.

Photo :
  • U-Report

“JKP ini bisa didapat kalau kemudian pekerja atau peserta masuk ke dalam program BPJS secara lengkap, program jaminan kesehatan, program kecelakaan kerja, jaminan kematian, pensiun, termasuk JHT,” katanya.

Namun, belum semua pekerja di-cover seluruh program jaminan sosial ini. Banyak pekerja sudah jadi peserta program JHT tapi belum ikut program jaminan pensiun. Selain itu, banyak pengusaha yang menunggak iuran. Peserta belum tentu bisa mendapatkan JKP.

“Pengusaha nunggak saja satu atau dua bulan pas terjadi, maka tidak mendapatkan klaim jaminan kehilangan pekerjaan. Tentu ini harus dipertimbangkan dan dihitung kembali dalam situasi ini,” katanya.

Lebih lanjut menurutnya, saat ini banyak pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), kemudian kemampuan keuangan perusahaan yang tak maksimal yang mengakibatkan tenaga kerja tidak langsung dapat pesangon. Kondisi ini kemudian membuat pekerja mengandalkan tabungan JHT sebagai solusi darurat.