Sistem Kontrak Dinilai Bikin Buruh Sulit Kerja Hingga Usia 56 Tahun

Demo buruh di depan DPR
Sumber :
  • VIVA / Andrew Tito (Jakarta)

VIVA - Deputi Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Obon Tabroni, mengatakan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang mengatur pengambilan Jaminan Hari Tua (JHT) hanya bisa dilakukan di usia 56 tahun atau ketika buruh meninggal dunia, cenderung merugikan buruh.

Ilustrasi buruh saat aksi demo tolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja

Photo :
  • ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Mudah Direkrut, Mudah Dipecat

Apalagi, menurutnya saat ini sistem hubungan kerja cenderung fleksibel. Di mana, terdapat fenomena di dunia kerja yakni seorang pekerja sangat mudah direkrut dan juga mudah pecat, dengan adanya sistem kerja kontrak dan outsourcing.

"Sehingga sangat sulit bagi buruh untuk bisa bekerja hingga usia 56 tahun," kata Tabroni dalam keterangan tertulis, Senin, 14 Februari 2022.

Sulit Cari Pekerjaan Jika Sudah Usia 25 Tahun

Apalagi, Tabroni juga menegaskan bahwa bagi buruh kontrak dan outsourcing, ketika sudah memasuki usia 25 tahun itu umumnya mereka sudah sulit untuk mencari pekerjaan baru.

"Masak iya buruh harus menunggu selama 30 tahun untuk mengambil JHT mereka?" ujarnya.

Padahal, Tabroni menegaskan jika buruh kontrak itu menurut aturan tidak mendapatkan pesangon ketika mereka di PHK. Maka, dengan uang JHT itulah para buruh itu bisa memiliki sedikit modal untuk melanjutkan kehidupan setelah di PHK.

Semakin Mudah PHK Buruh

Tabroni menegaskan dengan adanya Undang-undang Cipta Kerja pengusaha semakin mudah melakukan PHK terhadap buruh. Terutama, hal itu kerap terjadi di masa pandemi COVID-19, dan situasi ekonomi yang sampai saat ini tak kunjung membaik. Hal itu masih ditambah lagi dengan pesangon buruh yang juga dikurangi.

"Masih belum puas juga membuat buruh susah. Sudah PHK dipermudah, pesangon dikurangi, sekarang pengambilan JHT pun dipersulit," kata Tabroni.

"Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba aturannya diubah. Ini justru menimbulkan pertanyaan bagi publik. Ada apa dengan Menaker dan BPJS Ketenagakerjaan?" ujarnya.