Hapus Premium dan Pertalite, Akademisi Ungkap PR Utama Pemerintah
- Pertamina
VIVA – Wacana Pemerintah untuk menghapus bahan bakar jenis Premium dan Pertalite dari pasaran mendapatkan dukungan dari Akademisi. Sebab, memang sudah waktunya RI beralih ke bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
Kepala Pusat Studi Energi UGM, Deendarlianto mengatakan, dampak terhadap lingkungan menjadi salah satu pertimbangan yang penting untuk mendorong konsumsi bahan bakar dengan nilai oktan yang lebih tinggi.
Deendarlianto memaparkan, jika wacana kebijakan penghapusan Premium dan Pertalite ini juga sejalan dengan upaya pemerintah mengurangi emisi. Termasuk pada sektor transportasi.
“Kalau mengacu pada perencanaan energi nasional ke depan saya pikir rencana Pemerintah untuk mulai menghilangkan secara perlahan-lahan premium dan pertalite cukup baik. Itu perlu disosialisasikan dan didukung bersama oleh semua komponen masyarakat,” kata Deendarlianto, di Yogyakarta, dikutip, Kamis, 30 Desember 2021.
Deerdarlianto membeberkan, sejatinya proses transisi menuju konsumsi bahan bakar yang lebih ramah lingkungan sebenarnya telah dimulai sejak peluncuran pertalite pada tahun 2015 silam.
“Masyarakat sudah digiring untuk berganti dari premium ke pertalite, dan ternyata itu berhasil. Orang-orang mulai sadar akan pengaruh terhadap mesin, dan pengaruh terhadap lingkungan juga semakin menjadi pertimbangan,” kata Deendarlianto.
Dia menilai jika dilihat dari struktur penjualan BBM, pengguna Premium memang semakin lama semakin berkurang. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan BBM yang lebih berkualitas.
"Masyarakat kelas ekonomi menengah telah lama beralih dari premium ke pertalite, dan bahkan pelan-pelan mulai bergeser ke Pertamax," ungkap Deendarlianto.
“Boleh dikatakan hampir dominan di kendaraan roda empat menggunakan pertalite, sehingga kalau kita ingin menghentikan premium saya pikir dalam waktu enam bulan waktu transisinya sudah cukup untuk membawa masyarakat ke sana,” sambung Deendarlianto.
Lebih lanjut dia memaparkan data konsumsi energi di Indonesia saat ini. Di mana 39 persen energi masih berbasis minyak, dan 64 persen diantaranya digunakan untuk transportasi. Dari jumlah tersebut, 90 persen konsumsi energi di sektor transportasi diperuntukkan bagi transportasi darat atau jalan raya.
Meski rencana penghapusan BBM jenis premium dinilai tepat, kata Deendarlianto, konsumen utamanya yang berasal dari kalangan menengah ke bawah perlu mendapat perhatian.
Deendarlianto menyayangkan fenomena konsumsi premium dari sebagian masyarakat kalangan menengah yang seharusnya tidak memerlukan subsidi. Sejalan dengan proses transisi energi dan demi tercapainya subsidi energi yang tepat sasaran, pemerintah menurutnya perlu memberikan subsidi energi kepada orang dan bukan produk tertentu.
“Selama ini yang disubsidi bukan orangnya tetapi barangnya. Dengan penghilangan premium ke depan metode subsidi yang diberikan pemerintah terhadap masyarakat dengan kemampuan ekonomi rendah bisa dilakukan dengan pemberian subsidi ke orangnya,” tegasnya.