Prospek Industri Pelayaran RI Besar, Regulasi Pajak Jadi Harapan
- Dok. Pertamina
VIVA – Sejumlah regulasi perpajakan yang terbit pada 2021 dinilai menjadi faktor yang pengaruhi daya saing industri pelayaran nasional. Padahal, peluang bisnis pelayaran di Tanah Air masih sangat besar dan perlu dukungan semua stakeholder di industri tersebut.
Di sisi lain, porsi pelayaran nasional yang hanya 9 persen untuk kargo luar dinilai kurang optimal. Hal ini disebabkan skema kontrak ekspor kargo dari Indonesia untuk ke luar menggunakan skema FOB (Free on Board).
Wakil Ketua Umum I Indonesian National Shipowners Association (INSA) Darmansyah Tanamas, mengatakan pada skema FOB pembeli mempunyai kewajiban menyediakan kapal. Jadi pembeli akan mencari kapal yang sudah mempunyai networking atau relationship dengan mereka.
Baca juga: Harga Emas Hari Ini 29 Desember 2021: Global Stabil, Antam Amblas
“Pembeli produk Indonesia biasanya sudah mempunyai sister company di shipping industry. Ini yang menjadi hambatan. Diharapkan ada perubahan dari skema FOB ke Cost and Freight (CnF), di mana eksportir yang menyediakan kapal,” kata Darmansyah dalam webinar dengan Energy and Mining Editor Society (E2S), dikutip Rabu 29 Desember 2021.
Menurut Darmansyah, industri pelayaran nasional juga terkena dampak beberapa regulasi perpajakan, selain Peraturan Menteri Keuangan Nomor 186 Tahun 2019 mengenai objek pajak yang dianggap mengganggu.
“Ini tentunya berdampak pada rendahnya daya saing pelayaran nasional. Kami sedang usaha untuk dapat keringanan atau insentif dari pemerintah,” katanya.
Industri pelayaran nasional, lanjut Darmansyah, berharap penyerahan jasa angkutan umum di laut dibebaskan dan pengenaan pajak PPN untuk selamanya. Selain itu, pembelian kapal impor, spare part dan alat kesehatan kapal dibebaskan dari pengenaan PPN.
Selain itu, kata Darmansyah, jasa docking, jasa repair, jasa perbaikan kapal, jasa kapal di kepelabuhanan, jasa kapal di darat yang menjadi beban perusahaan pelayaran nasional juga sebaiknya dibebaskan dari pengenaan PPN, makanan-minuman dan obat-obatan.
“Kru kapal di atas kapal termasuk dalam kategori natura dan bukan penghasilan kru kapal, jasa penyewaan kapal, dibebaskan dari pengenaan PPN,” katanya.
Sedangkan, Pengamat Ekonomi dari Universitas Padjajaran, Yayan Satiyakti menilai ada peluang bisnis integrasi maritim di Indonesia dan akan didominasi oleh kebutuhan industri, terutama untuk energi fosil seperti batu bara, minyak mentah dan BBM.
Untuk itu, ketika akses ditambah dengan integrated marine management bisa me-reducing transport cost. Dengan akses mudah, pasokan bertambah dan harga akan semakin efisien. Karena itu, aksesibilitas menjadi hal yang penting. “Ini harus didukung dengan demand yang kuat,” katanya.
Sementara, Direktur Utama PIS, Erry Widiastono mengatakan dengan adanya peluang itu, PIS bertransformasi dari sub holding shipping menjadi lebih besar lagi menjadi subholding marine logistics. Di mana sebanyak lima terminal besar Pertamina diserahkan ke PIS dan kini bisnis PIS menjadi tiga, yakni shipping, terminal BBM dan LPG, lalu marine logistic.
“Kami semua menghadapi tantangan yang menuntut perubahan bisnis dan perubahan dari company itu sendiri. Tidak hanya PIS, saya yakin semua pelaku bisnis logistic provider khususnya di bidang migas menuntut adanya perubahan,” kata Erry.
PIS menghadapi tantangan dan peluang strategis yang menuntut perubahan internal. Saat ini di Indonesia GDP masih ada potensi tumbuh. Pertumbuhan akan berbanding lurus dengan konsumsi energi.
Untuk menghadapi tantangan, peluang dan perubahan lingkup energi, PIS bertransformasi menjadi integrated marine logistic company. Transformasi ini dilakukan melalui dua tahap restrukturisasi.