OJK Minta Industri Keuangan Bersiap Kebijakan Kembali Normal 2023

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso.
Sumber :
  • Repro video Kemenkeu.

VIVA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta industri jasa keuangan, khususnya perbankan, bersiap menghadapi normalisasi dari relaksasi kebijakan dalam menghadapi Pandemi COVID-19 pada 2023.

Normalisasi dari relaksasi kebijakan itu termasuk yang diatur dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 48 Tahun 2020. POJK ini salah satunya mengatur terkait restrukturisasi kredit atau pembiayaan.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, menjelang normalisasi tersebut, perbankan dikatakannya harus tetap membentuk pencadangan agar tidak terjadi cliff-edge effect.

"Perbankan untuk tetap membentuk pencadangan agar saat dinormalkan 2023 ini tidak terjadi permodalannya tidak cukup atau terjadi cliff effect," kata dia di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis, 9 Desember 2021.

OJK sendiri memang telah memperpanjang relaksasi restrukturisasi kredit perbankan terdampak COVID-19. Dari yang semula hingga 31 Maret 2022 menjadi 31 Maret 2023 sesuai POJK 48 Tahun 2020.

Meski masih terus diperpanjang, Wimboh menekankan, jumlah restrukturisasi yang telah dilakukan perbankan atau industri jasa keuangan lainnya sudah semakin mengecil jumlahnya.

"Masih ada kredit yang di restrukturisasi namun jumlahnya sudah mulai menurun. Ini yang menggunakan POJK 48 yang sudah kita perpanjang," tegas Wimboh.

Gedung Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Photo :
  • vivanews/Andry Daud

Hingga Oktober 2021, Wimboh mengatakan, jumlah kredit yang telah direstrukturisasi mencapai Rp714,02 triliun, mencakup 4,41 juta debitur. Sedangkan pembiayaan mencapai Rp216,22 triliun dari 5,19 juta kontrak.

"Sehingga ini menjadi perhatian kita. Kita menunggu, mudah-mudahan dengan ekonomi yang tumbuh lebih baik, kredit yang di restru ini membaik dan jumlahnya akan semakin kecil," paparnya.

Dengan adanya POJK 48 tersebut, Wimboh mengatakan, gross non performing loan (NPL) per Oktober 2021 sebesar 3,22 persen. Membaik dari posisi Juni 2021 yang mencapai 3,24 persen.

Wimboh menekankan, pada 2022 risiko-risiko di sektor keuangan pada dasarnya juga masih sangat besar, terutama karena adanya varian Omicron dan tingkat inflasi maupun normalisasi kebijakan moneter di negara maju.

"Omicron dan inflasi di beberapa negara maju yang meningkat, normalisasi kebijakan moneter dan fiskal di beberapa negara maju bisa memberikan spillover kepada kita, kita harus waspada terhadap hal ini," tegas dia.