Jalan Terjal Garuda Indonesia Keluar dari Labirin Utang
- Dok. Garuda Indonesia
VIVA – Virus yang lahir tahun 2019 itu tidak hanya menjangkiti manusia. Namun juga menggerogoti dunia usaha. Korporasi besar pelat merah ternama, Garuda Indonesia pun jadi salah satu korbannya.
Maskapai kebanggaan RI ini mesti berjuang keras untuk tambal sulam biaya operasionalnya. Di satu sisi, pemasukan sangat kecil karena penumpang turun drastis, di bagian lain tetap harus membayar kontrak biaya sewa pesawat, bahan bakar, parkir dan tetek bengeknya.
Berdasarkan catatan VIVA yang dihimpun dari Keterbukaan Informasi BEI, Garuda Indonesia sejatinya hanya memiliki 6 pesawat dari total 142 pesawat yang dioperasikan. Artinya, sebanyak 136 armada merupakan pesawat sewa. Pandemi merebak, utang pun tak terbendung. Garuda kini ibarat tersesat dalam labirin utang yang belum tahu kapan akan terselesaikan.
Menteri BUMN Erick thohir menyebut, utang Garuda yang dinegosiasikan dengan lessor saat ini mencapai US$7 miliar atau setara dengan Rp100,6 triliun. Erick masih optimis mendorong opsi langkah pemulihan Garuda. Hal itu disampaikan Erick dalam penandatanganan kerja sama code sharing Garuda Indonesia dengan maskapai asal UEA, Emirates di Dubai.
"Negosiasi utang-utang Garuda yang mencapai US$7 miliar dolar karena leasing cost termahal yang mencapai 26 persen lagi dinegosiasikan dengan para lessor. Meski demikian, kita tetap berusaha membuka opsi-opsi lain, paling tidak, agar bisa membantu pemulihan Garuda," jelas Erick di Dubai, Kamis, 4 November 2021.
Dengan kerja sama ini, pelanggan Garuda tetap bisa menjelajahi rute internasional melalui maskapai Emirates. Sebab, Garuda akan fokus untuk penerbangan domestik. Sebelum angka utang yang dinegoiasikan Rp100,6 triliun itu muncul, dalam rapat di DPR disebutkan bahwa utang Garuda yang jatuh tempo adalah Rp70 triliun dari total utang seluruhnya, termasuk jangka panjang mencapai Rp140 triliun. Biaya sewa pesawat memang diakui jadi beban terbesar yang membuat utang menggunung.
Eks Komisaris Garuda Indonesia, Peter Gontha mengungkapkan, ada harga sewa pesawat yang tak wajar. Salah satunya adalah biaya sewa pesawat boeing 777 yang dibayarkan Garuda ternyata di atas rata-rata pasar. Seharusnya biaya sewa hanya US$750 ribu per bulan.
Namun, Peter menyebut, Garuda membayar hampir dua kali lipat yakni sekitar US$1,4 juta per bulan atau setara dengan Rp19,9 miliar (kurs referensi BI Rp14.268 per dolar AS).
"Uangnya kemana sih waktu diteken? pengen tau aja," tulis Peter di akun Instagram akhir bulan lalu.
Terbaru, Peter juga membongkar informasi tentang penandatanganan kontrak beli pesawat Boeing 737 Max pada tahun 2013/2014. Peter awalnya tidak mau menandatangani kontrak itu karena hanya diberi waktu 1x24 jam untuk evaluasi dan terpaksa menandatanganinya.
"Total kontraknya melebihi US$3 miliar untuk 50 pesawat. Gila kan hanya 24 jam. Karena dipaksa dengan alasan saya harus tanda tangan, kalau tidak menjadi (dissenting) gagal pembeliannya. Saya akhirnya tandatangani juga tapi dengan catatan: bahwa kita tidak diberi waktu untuk evaluasi. Dan saya pun dikucilkan oleh 'direksi waktu itu'," ungkap Peter.
Setelah kontrak itu diteken, Peter pun mengaku bersyukur karena setelah itu, hanya satu pesawat yang terkirim ke Garuda. Karena, pesawat produksi Boeing tersebut mengalami gagal desain. Pesawat Boeing seri tersebut mengalami insiden kecelakaan yang sempat dialami maskapai Lion Air dan Ethiopia Air.
"Tahun lalu (2020) saya minta (lagi) direksi untuk batalkan kontrak tersebut dan kembalikan 1 pesawat yang sudah dikirim. Tapi tidak dikerjakan, karena alasan kontrak tersebut tidak bisa dibatalkan apapun alasannya. Saya minta dituntut di pengadilan Amerika Serikat, dan minta uang perusahaan dikembalikan, tapi tidak dilaksanakan, padahal Boeing sudah terkendala korupsi," ucapnya.
Menurut Peter, cerita ini mungkin tidak sampai diinformasikan kepada Menteri BUMN saat ini, Erick Thohir. "Ini harus saya kasih tau, karena kalau tidak pak erick yang disalahkan," ucap Peter.
Dugaan Pencatatan Akuntansi yang Disembunyikan
Pengamat Penerbangan dari Arista Indonesia Aviation Center (AIAC), Arista Atmadjati mengamati asal muasal dan penyebab utang Garuda Indonesia bisa membengkak sampai lebih dari Rp100 triliun tersebut. Dia mengaku sudah mengamati perkembangan utang tersebut sejak sepuluh tahun yang lalu.
"Dulu di era sekitar 10 tahun yang lalu, biaya-biaya leasing yang selisih dengan harga pasar, itu menurut ketentuan accounting itu tidak dihitung. Sekitar 10 tahun yang lalu, itu bisa tidak dimunculkan dalam laporan keuangan Garuda Indonesia," kata Arista saat dihubungi VIVA, Senin 8 November 2021.
Arista mengaku heran dengan total jumlah utang Garuda yang membengkak tersebut. Sebab, dia sendiri memang sempat menghitung asumsi total utang Garuda secara operasional, yang menurutnya hanya sampai pada kisaran Rp20 triliun saja.
"Jadi harga leasing (pesawat) yang kemahalan dan tidak dibayar, plus bunganya. Jadi ada beberapa pos yang dalam hitungan akuntansi itu bisa diumpetin, sesuai dengan kaidah accounting, itu bisa," ujarnya.
Arista mengaku mengamati sejarah utang Garuda Indonesia. Dia menegaskan, utang yang membengkak karena ada catatan akuntansi yang disembunyikan dalam kurun waktu 10-15 tahun terakhir.
Sampai saat ini, praktik menyembunyikan catatan keuangan terkait selisih harga leasing pesawat itu tidak bisa lagi disembunyikan. Karena itu terbongkarlah utang-utang dan bunga yang sebelumnya tidak dicantumkan di laporan keuangan perusahaan.
"Mungkin karena direksi sekarang keras juga. Seolah-olah dia kontributor (utang), dan dia tidak mau. Sehingga dia buka semua," kata Arista.
KPK Perlu Turun Tangan
Arista mengatakan, masalah utang Garuda Indonesia memang perlu upaya keras untuk menyelesaikannya. Kementerian BUMN, pihak Garuda Indonesia dan KPK harus bekerja sama.
"Sekarang KPK sudah turun tangan untuk mencari tahu nilai (utang) sebesar itu dari mana? Kalau terbuka semua, KPK harus memeriksa dari 10 atau 15 tahun yang lalu. Karena beberapa komponen leasing itu berhasil disembunyikan di catatan akuntansi sejak saat itu, dan akhirnya semua baru kebuka sekarang," ujarnya.
Mantan Komisaris Garuda Indonesia, Peter Gontha sebelumnya telah menyampaikan rencananya untuk memberikan data penyewaan pesawat Garuda kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rencana itu didukung oleh Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga.
"Kami sangat mendukung kalau benar Peter Gontha sudah memberikan data mengenai penyewaan pesawat ke KPK," kata Arya.
Pihak KPK pun mendorong agar Peter Gontha menyerahkan data penyewaan pesawat Garuda Indonesia. Dugaan korupsi dalam Garuda Indonesia akan didalami dari data Gontha.
"Apabila dari hasil telaah dan kajian ditemukan adanya indikasi peristiwa pidana, maka tidak menutup kemungkinan KPK akan melakukan langkah-langkah berikutnya sebagaimana hukum yang berlaku," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada awak media, Selasa, 2 November 2021.
Ali menilai, laporan dari Gontha sangat penting. KPK tidak bisa memberantas korupsi tanpa bantuan masyarakat. Gontha sudah berperan sebagai masyarakat yang baik dengan memberikan data-data sewa pesawat Garuda Indonesia.
Garuda Tak Lagi Dapat PMN Tahun Depan
Meskipun di tengah adanya dugaan korupsi, pemerintah tetap ingin Garuda Indonesia diselamatkan. Namun, jalurnya bukan lagi melalui dana segar Penyertaan Modal Negara (PMN).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak memasukkan Garuda Indonesia sebagai BUMN Penerima PMN 2022. Total dana PMN 2022 yang mencapai Rp35,5 triliun, terbesar akan disalurkan kepada Hutama Karya untuk membangun Tol Trans Sumatera. Tidak ada penjelasan rinci dari Kemenkeu terkait Garuda. Kebijakan ini tentu membuat jalan Garuda Indonesia keluar dari labirin utang kian terjal.
Hingga berita ini ditulis, Staf Khusus Erick Thohir Arya Sinulingga tidak kunjung belum menjawab pertanyaan VIVA terkait kebijakan PMN tahun 2022 tersebut.
Terlepas dari bantuan PMN, Menteri BUMN Erick Thohir telah menegaskan sikapnya bahwa upaya restrukturisasi Garuda Indonesia akan terus berjalan. Garuda akan fokus untuk penerbangan domestik.
Erick belum sampai membahas lebih lanjut soal isu Pelita Air yang akan menggantikan Garuda. Jauh sebelum itu, pada Mei 2021, Kementerian BUMN sempat menyampaikan empat opsi penyelamatan Garuda Indonesia. Mulai dari tetap mendukung Garuda Indonesia hingga ada opsi Garuda dilikuidiasi. Lantas jalan terjal mana yang dipilih?