Jokowi Sahkan Perpres Nilai Ekonomi Karbon di COP26
- Biro Pers Sekretariat Presiden
VIVA – Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu mengungkapkan bahwa Presiden Jokowi baru saja mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon atau NEK.
Menurutnya, hal ini menjadikan Indonesia sebagai penggerak pertama penanggulangan perubahan iklim berbasis pasar di tingkat global untuk menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan.
Pengesahan peraturan ini menurutnya juga disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam pertemuan Conference of the Parties (COP) 26 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Glasgow.
Baca juga: RI Pamer Aksi Iklim ke Dunia di Paviliun Indonesia COP26
“Instrumen NEK ini menjadi bukti kolaborasi dan kerja sama multipihak yang sangat baik dan dapat menjadi momentum bagi first mover advantage penanggulangan perubahan iklim berbasis market di tingkat global," tuturnya, Selasa, 2 November 2021.
NEK menurutnya menjadi bukti kesadaran bahwa selain pandemi, perubahan iklim akan menjadi tantangan global yang perlu ditangani secara bersama, baik di tingkat internasional maupun nasional.
Indonesia menetapkan ambisi yang cukup tinggi sebagai negara berkembang yakni penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
Sektor strategis yang menjadi prioritas utama adalah sektor kehutanan, serta sektor energi dan transportasi yang telah mencakup 97 persen dari total target penurunan emisi Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.
Bahkan pada dokumen update NDC 2021, melalui long term strategy low carbon and climate resilience (LTS–LTCCR), Indonesia juga telah menargetkan untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih awal.
Secara umum, dia menjelaskan, NEK atau carbon pricing terdiri atas dua mekanisme yaitu perdagangan karbon dan instrumen non-perdagangan. Instrumen perdagangan terdiri atas cap and trade serta offsetting mechanism.
Sementara itu, instrumen non-perdagangan dijelaskannya mencakup pungutan atas karbon dan pembayaran berbasis kinerja atau result-based payment (RBP). Indonesia menurutnya akan menjadi acuan dan tujuan investasi rendah karbon di berbagai sektor pembangunan.
"Ini merupakan kesempatan emas untuk mensejajarkan bangsa Indonesia dengan negara-negara lain dan di saat yang sama mampu menjaga warisan bumi Indonesia yang sehat dan berkelanjutan yang dipinjamkan oleh anak cucu kita," tegas Febrio.
Meski demikian, Febrio belum bisa menjelaskan lebih detail lagi dari perpres NEK ini, termasuk besaran nilainya. Dia hanya memastikan bahwa pengenaan pajak karbon yang berlaku di Indonesia bukan hanya adil, tapi juga terjangkau.