Dahlan Iskan: Nyawa Garuda Indonesia Ada di Tangan Pertamina
- Dok. Garuda Indonesia
VIVA – Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan memuji rencana Menteri BUMN saat ini, Erick Thohir yang memilih Pelita Air sebagai pengganti Garuda Indonesia jika memang diperlukan. Namun sejauh ini, lanjut Dahlan, memang belum sampai ke tahap tersebut.
Garuda Indonesia, disebut akan baik-baik saja sepanjang Pertamina terus menyediakan bahan bakar.
"Tapi bayangkanlah bila anda menjadi direksi Pertamina. Bawahan Anda sudah membuat laporan: bahan bakar yang belum dibayar Garuda sudah mencapai Rp12 triliun," ujar Dahlan dikutip VIVA dari Disway.id, Selasa 26 Oktober 2021.
Hingga saat ini, lanjut Dahlan, Pertamina masih terus berbaik hati. Jika bukan Pertamina, perusahaan mana lagi yang mau memberi pinjaman sampai Rp12 triliun.
"Maka nyawa Garuda Indonesia sebenarnya ada di tangan Pertamina. Bukan di perusahaan penyewa pesawat di Amerika atau Eropa," tutur eks Dirut PLN itu.
Memang, tidak masuk akal pinjaman sebesar itu sebagai sebuah perusahaan. Apalagi, jika di dalam neraca keuangan, piutang Rp12 triliun itu masuk ke dalam laba Pertamina.
"Tahun lalu Pertamina rugi. Lucu sekali. Bagaimana sebuah perusahaan yang mengalami kerugian punya tagihan begitu besar," katanya.
Di Semester I tahun ini, Pertamina membukukan laba Rp13 triliun. "Tapi apakah berarti Pertamina punya uang Rp13 triliun? tidak. Dari laba Rp13 triliun itu yang Rp12 triliun masih nyangkut di Garuda," bebernya.
Dahlan melanjutkan, bila Rp12 triliun itu mewujud di dalam laba pertamina, berarti Pertamina juga harus membayar pajak penghasilannya.
"Kalau besarnya pajak itu 30 persen, berarti Pertamina harus membayar pajak laba yang masih nyangkut itu sekitar Rp3 triliun. Betapa ruginya Pertamina di transaksinya dengan Garuda itu. Atau Pertamina menjual bahan bakar ke bahan bakar ke Garuda dengan harga lebih mahal (memasukkan risiko ke dalam harga?) Tentu hanya Pertamina dan Garuda yang tahun," katanya.
Lantas kenapa hingga saat ini, Pertamina masih memasok bahan bakar ke Garuda?
Dahlan menilai itu adalah perintah dari pemegang saham yakni pemerintah. Seharusnya, perintah ini dibuat dalam bentuk tertulis karena akan menjadi bagian dari dokumen keuangan.
"Kalau dokumen itu ada di tangan Pertamina, misalkan Garuda pada akhirnya ditutup. Berarti Garuda tidak bisa membayar utang Rp12 triliun itu. Pertamina mungkin bisa menggunakan dokumen perintah tersebut untuk menagih langsung ke Pemerintah," katanya.
Tentu, lanjut Dahlan, Pertamina tidak harus menerima uang kontan dari Pemerintah. Bisa saja dalam bentuk potongan dividen. Artinya, Pertamina dianggap sudah setor dividen senilai piutang yang ada di dokumennya itu.
"Soal bahan bakar itulah, menurut pendapat saya, salah satu pertimbangan mengapa nama Pelita muncul sebagai calon pengganti Garuda," ujarnya.
Pertamina Bisa Punya Anak Usaha Raksasa
Pelita Air diketahui merupakan anak usaha Pertamina. Namun pesawat yang dimiliki kecil-kecil. Hanya untuk ke daerah-daerah penghasil minyak.
Tentu, sambung Dahlan, Pelita nantinya bisa cari sewaan banyak pesawat. Dahlan mengatakan, Pelita bisa mencari pesawat yang sewanya tidak dititipi kepentingan pencari komisi.
"Kalau pun kelak Pertamina terus mengirim bahan bakar ke Pelita, perhitungan akuntansinya lebih mudah. Piutang Pertamina ke Pelita akan bisa langsung diputuskan di RUPS sebagai tambahan setoran modal. Itu yang tidak mungkin dilakukan Pertamina terhadap Garuda," ucapnya.
Dahlan menuturkan, dengan mengubah Pelita menjadi 'Garuda baru' persoalan manajemen lebih mudah. Tidak lagi punya beban masa lalu. Saat ini Pelita masih sangat langsing secara ukuran. Namun ke depan bisa pelan-pelan mencari pesawat yang lebih murah. Bisa mencari tenaga yang lebih selektif. Asalkan penyakit lama Garuda tidak terulang di Pelita.
"Catatan besarnya hanya satu: Pertamina menjadi punya anak perusahaan penerbangan besar. Dengan risiko besar. Padahal Pertamina baru saja direorganisasi. Tiba-tiba saja harus punya perusahaan skala raksasa -di luar rencana-," tutup Dahlan.