RUU HPP Disahkan Hari Ini, Berikut Poin Rangkuman Ketentuannya

Sejumlah wajib pajak mengisi form pelaporan SPT Pajak Tahunan dan pembuatan NPWP di Kantor KPP Pratama Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jum'at, 22 Februari 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

VIVA – Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) bakal disahkan menjadi Undang Undang oleh DPR siang ini, Kamis 7 Oktober 2021.

Berdasarkan agenda rapat paripurna ke-7 yang digelar pada hari ini, RUU ini menjadi satu-satunya yang masuk ke pembicaraan tingkat II atau pengambilan keputusan.

RUU ini mulanya bernama Perubahan Kelima atas UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Namun, saat pembicaraan di Komis XI DPR namanya diubah menjadi RUU HPP.

Sangat banyak ketentuan baru yang menjadi sorotan publik dari RUU yang terbilang cepat disepakati DPR dan pemerintah tersebut. Berikut VIVA rangkuman ketentuan-ketentuan utama yang menjadi sorotan itu:

1. NPWP Orang Pribadi Jadi Hanya Menggunakan NIK

Pemerintah memutuskan menggunakan menggunakan skema single identity number pada administrasi perpajakan. Dengan demikian, sesuai Pasal 2 Ayat 1a draf RUU HPP Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi akan dilebur menjadi hanya menggunakan Nomor Induk Kependuduk (NIK).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penggunaan NIK sebagai NPWP ini hanya sebatas upaya pemerintah dalam melakukan efisiensi administrasi perpajakan dan meningkatkan efektifitas data perajakannya.

"Perubahan penggunaan NIK sebagai NPWP saya harap isu ini atau transformasi ini makin meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam mengelola berbagai macam tugas-tugas," tegas Sri beberapa waktu lalu.

2. Semakin Kaya Semakin Tinggi Pajak Penghasilan yang Dikenakan

Dalam Bab III Pasal 17 draft RUU HPP pemerintah menambah layer dan meningkatkan tarif Pajak Penghasilan PPh orang pribadi dalam negeri. Tarif pajak 5 persen bagi yang berpenghasilan Rp 60 juta dari sebelumnya Rp50 juta.

Kemudian, pajak 15 persen bagi yang berpenghasilan di atas Rp60 sampai Rp250 juta, pajak 25 persen bagi yang berpenghasilan di atas Rp250 juta sampai Rp500 juta, pajak 30 persen bagi yang berpenghasilan di atas Rp500 juta sampai Rp5 miliar dan pajak 35 persen bagi yang berpenghasilan di atas Rp5 miliar.

3. Tarif PPN Dinaikkan, Bisa Sampai 15 Persen

Dalam Bab IV Pasal 7 draf RUU HPP pemerintah dan Komisi XI DPR menyepakati bahwa tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dinaikkan dari sebelumnya yang hanya satu tarif 10 persen. 

Pasal tersebut merincikan bahwa tarif PPN dinaikkan menjadi sebesar 11 persen dan mulai berlaku pada 1 April 2022. Selanjutnya, tarif ini naik lgi menjadi sebesar 12 persen dan mulai

berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025.

Tarif PPN itu pun disebutkan dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen setelah disampaikan pemerintah kepada DPR dan dibahas meski tidak ada nya keharusan berdasarkan kesepakatan.

4. Sembako, Jasa Pendidikan hingga Kesehatan Tak Lagi Bebas PPN

Dalam draf RUU HPP Bab IV Pasal 4a pemerintah dan DPR sepakat untuk menghapus sejumlah barang dan jasa yang sebelumnya tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Barang-barang yang kini ditetapkan sebagai barang yang kena PPN atau dihapus dari pengecualian di RUU itu diantaranya barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak alias sembako di ayat 2.

Kemudian, di ayat 3 nya, barang yang dikeluarkan dari jenis jasa yang tidak dikenakan PPN diantaranya adalah jasa pendidikan, jasa pelayanan kesehatan medis dan jasa pelayanan sosial.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menegaskan, penghapusan itu untuk menciptakan kesetaraan pengenaan pajak. Artinya, pajak sembako yang dikenakan hanya untuk yang dikonsumsi orang kaya, termasuk jasa layanan kesehatan.

Berdasarkan draf penjelasan RUU HPP, barang kena pajak tertentu dan atau jasa kena pajak tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN antara lain barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan dan sayur-sayuran.

Jasa pelayanan kesehatan medis tertentu dan yang berada dalam sistem program jaminan kesehatan nasional turut bebas dari PPN. Jasa kesehatan tertentu yang dimaksud jasa dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi dan jasa dokter hewan.

Di samping itu, jasa ahli kesehatan, jasa kebidanan dan dukun bayi, jasa paramedis dan perawat, jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium, jasa psikolog dan psikiater serta jasa pengobatan alternatif.

Untuk pendidikan, yang dibebaskan dari PPN adalah jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional serta jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.

Bebas PPN juga diberikan pada jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa tenaga kerja, jasa angkutan umum di darat dan di air, serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri.

5. Berlakunya Tax Amnesty Jilid II

Pemerintah kembali menggulirkan program pemgampunan pajak atau dikenal tax amnesty jilid II melalui RUU HPP. Ini sesuai dengan draf beleid tersebut pada Bab IV tentang Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak. 

Aturan main program ini pun dijelaskan panjang lebar dalam RUU tersebut. Program ini juga akan dilaksanakan mulai 1 Januari

2022 sampai dengan 30 Juni 2022 di mana saat itu wajib pajak mengungkapkan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 1 melalui surat pemberitahuan pengungkapan harta dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak.

6. Pengenaan Pajak Karbon bagi Orang Pribadi

RUU HPP dalam Bab VI memperkenalkan pengenaan Pajak Karbon. Pada Pasal 13 disebutkan bahwa Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.

Yang menjadi sorotan orang banyak terletak pada Ayat 5 Bab tersebut di mana orang pribadi turut dikenakan pajak karbon. Ayat ini menyatakan subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang  membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.

Adapun tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan besaran tarif harga karbon di pasar karbon per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
 

7. Pemerintah Semakin Leluasa Menambah atau Mengurangi Barang Kena Cukai.

RUU HPP turut mengatur mengenai penambahan maupun pengurangan barang kena cukai. Dalam Bab VII Pasal 4 draf RUU ini, disebutkan bahwa penambahan atau pengurangan barang kena cukai bisa dilakukan pemerintah hanya dengan disampaikan ke DPR tanpa harus adanya persetujuan.

Ini disebutkan dalam ayat 2 pasal tersebut yang menyatakan penambahan atau pengurangan jenis Barang Kena Cukai diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara