Berkah Supercycle Komoditas dan Titik Imbang Lingkungan

Lahan kelapa sawit bertuliskan SOS di Sumatera
Sumber :
  • Ernest Zacharevic

VIVA – Harga minyak mentah kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) terus naik akibat adanya fenomena supercycle komoditas. Fenomena ini menyebabkan harga sejumlah komoditas naik karena permintaan tinggi.

Melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51 Tahun 2021, harga referensi CPO untuk penetapan bea keluar September 2021 adalah US$1.185,26/MT. Naik dari periode Agustus 2021 US$1.048,62/MT.

Senior Forest Campaigner Greenpeace Asia Tenggara Arkian Suryadarma menekankan, dari sisi produk CPO pada dasarnya baik bagi ekonomi, namun ada potensi masalah dari proses bisnisnya.

"Dengan kenaikan permintaan pastinya akan meningkatkan keperluan supply dari minyak sawit dan tentunya akan menaikkan potensi pembukaan lahan yang lebih besar," kata dia kepada VIVA, Rabu, 22 September 2021.

Perkebunan kelapa sawit.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan

Permintaan dari sisi global yang tinggi tersebut ditekankannya juga terus diperburuk dengan adanya permintaan domestik dari program Biodiesel pemerintah yang berisiko munculnya deforestasi. 

"Ini akan meningkatkan potensi pembukaan lahan kedepannya. Kalau perusahaan masih saja business as usual dan tidak mengubah gaya produksi CPO, ini akan memperburuk perubahan iklim," tegasnya.

Meski demikian Arkian mengaku Greenpeace belum memiliki data khusus yang mampu melihat besaran angka pembukaan lahan baru tersebut terhadap naiknya permintaan CPO.

"Kalau (data) itu kita masih belum kalkulasi. Gaya produksi ideal CPO terutama yang tidak merusak lingkungan dan setop deforestasi. Indonesia punya sekitar 16 juta hektare perkebunan sawit," ucap dia.

Dengan meroketnya harga dan permintaan CPO, Arkian menilai perusahaan seharusnya tidak menanam dan membuka lahan di gambut, tidak mengeksploitasi masyarakat adat, pekerja serta masyarakat lokal.

Oleh sebab itu, yang perlu dilakukan perusahaan adalah meningkatkan daya produktivitas dan juga sumber daya manusia dari petani swadaya. Sebab, perbandingan kapasitas produksi keduanya jauh sekali.

"Kita lihat dari produktivitas petani swadaya dan perusahaan itu beda sekali. Mungkin perusahaan bisa tiga kali lebih besar produktivitasnya, jadi kita harus lebih memprihatinkan itu," ucapnya.

Selain itu, dia mengingatkan, perusahaan dan pemerintah juga harus lebih transparan dengan data-datanya. Dengan transparansi masyarakat bisa memonitor untuk menjaga keberlangsungan lingkungan.

Komitmen Pemerintah Soal Lingkungan

Sementara itu, terhadap lonjakan harga batu bara beberapa waktu terakhir ini, memiliki dampak tersendiri khususnya bagi masalah emisi karbon dan hal-hal terkait komitmen pelestarian lingkungan di sekelilingnya.

Karenanya, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, transisi energi adalah suatu keniscayaan yang mungkin tidak bisa kita hindari, sebagai jalan tengah bagi kondisi tersebut.

"Tapi biar bagaimanapun kita masih punya potensi cadangan batu bara yang cukup besar, dan pastinya ini juga memberikan pemasukan terhadap penerimaan negara baik dari sisi royalti, perpajakan, maupun PNBP," kata Mamit saat dihubungi VIVA, Rabu 22 September 2021.

Dengan kondisi ini, Mamit menilai bahwa mau tidak mau saat ini adalah momen yang tepat bagi Indonesia, sebagai salah satu eksportir terbesar batu bara, untuk mengoptimalkan kesempatan tersebut.

Meskipun di satu sisi Indonesia telah berkomitmen terhadap upaya-upaya untuk melestarikan lingkungan, termasuk dalam upaya dekarbonisasi, namun Mamit meyakini bahwa pemerintah juga akan memenuhi komitmen terhadap lingkungan itu.

"Bahwa memang kita punya komitmen untuk transmisi energi, iya. Bahkan pemerintah sudah memiliki komitmen 2060 untuk Indonesia Zero emission, di mana PLN akan mem-pensiun kan semua PLTU tersebut," ujarnya.

Kapal tongkang pengangkut batu bara saat melintas di Sungai Musi, Palembang

Photo :
  • ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Meski demikian, Mamit menegaskan bahwa semua hal itu tentunya membutuhkan proses dan tidak bisa dilakukan secara terburu-buru. Dia bahkan yakin bahwa PLN juga memiliki rencana jangka panjang, perihal bagaimana proses mereka untuk mem-pensiunkan PLTU-PLTU yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya tersebut.

Mamit pun menegaskan bahwa komitmen Indonesia terhadap lingkungan akan tetap terjaga dan tetap berjalan, karena sebelumnya pemerintah memang telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan bauran energi 23 persen pada tahun 2025 mendatang.

"Saya yakin pemerintah tetap akan mengusahakan hal tersebut. Apalagi saat ini pemerintah sedang meningkatkan renewable energy seperti PLTS Atap, kemudian geothermal, dan biomass sebagai salah satu upaya pemerintah untuk mengejar bauran energi tersebut," ujarnya.