Gaduh Data Bocor Gerus Kepercayaan Investor
- Pixabay/blickpixel
VIVA – Indonesia dihebohkan dengan sejumlah kasus data bocor belakangan ini. Diawali dari gaduh bocornya informasi 279 data penduduk Indonesia yang dijual secara online di forum hacker, Raid Forums.
Data yang bocor itu diduga dari BPJS Kesehatan. Isinya disebut meliputi Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama, alamat, nomor telepon bahkan besaran gaji. Juga disebutkan ada 1 juta sampel data yang bisa diunduh secara bebas oleh pengguna forum tersebut.
Polri pun tengah memburu pemilik akun Kotz di forum tersebut yang diduga kuat merupakan pelaku pembocoran. Kominfo juga tak tinggal diam. Kementerian itu gerak cepat memblokir forum diskusi hacker itu, Raid Forums.
Sementara, polisi telah meminta bantuan dari Hong Kong untuk melacak keberadaan pemilik akun tersebut karena diduga melakukan transaksi uang kripto, cryptocurrency di sana.
Polri pun telah mengajukan mutual legal assistance (MLA) atau bantuan timbal balik ke Internet Service Providers (ISP) di Hongkong untuk mencari pengguna akun bernama kotz tersebut.
“Mengajukan MLA terkait IP address HP iPhone yang menggunakan username kotz ke ISP di Hong Kong dan terkait transaksi cryptocurrency lain yang diduga dilakukan oleh kotz,” kata Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Ahmad Ramadhan pada Jumat 25 Juni 2021 lalu.
Pengejaran pelaku itu tampaknya belum selesai. Hingga kini belum ada kabar atau pengumuman resmi kepolisian terkait tertangkapnya pelaku pembocoran data 279 juta penduduk RI itu.
Setali tiga uang, kebocoran juga terjadi lagi. Yang cukup bikin heboh adalah bocornya data sertifikat vaksin milik Presiden Jokowi beserta Nomor Induk Kependudukannya (NIK) yang diduga berasal dari aplikasi PeduliLindungi.
Namun, Pemerintah berdalih sertifikat tersebut mudah diakses bebas karena NIK Presiden Jokowi masih tersedia situs Komisi Pemilihan Umum (KPU). Belum diketahui pasti dari mana bocornya data presiden ini.
Sementara itu, Ketua DPR RI Puan Maharani yang notabene-nya adalah petinggi salah satu partai koalisi pemerintah ikut mengkritik. Dia mengingatkan komitmen pemerintah menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang sudah lama dibahas bersama DPR.
"Kalau data pribadi Presiden saja bisa bocor, apalagi warga biasa. Kita sama-sama tahu bahwa banyak NIK warga yang bocor dan akhirnya terjebak oleh pinjaman online ilegal. Segala kebocoran data pribadi yang menyusahkan warga ini harus segera kita ‘tambal’ dengan UU Perlindungan Data Pribadi," kata Puan, Jumat 3 September 2021.
Hingga kini, RUU PDP belum dibahas intensif oleh Pemerintah dan DPR. Belum ada kepastian, kapan beleid tersebut akan rampung.
Padahal, ini sebetulnya cukup mendesak karena juga berkaitan dengan investasi di Indonesia.
Jangan sampai, isu keamanan siber Indonesia terus menggerus kepercayaan investor.
Hal itu disampaikan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira. Dia mengatakan, Kebocoran data yang kerap terjadi, apalagi terkait dengan data kependudukan di aplikasi milik pemerintah akan menurunkan kepercayaan investor.
Eks ekonom Indef ini menjabarkan, dalam National Cyber Security Index tahun 2020, Indonesia menempati posisi 77, lebih rendah dari Thailand di posisi 71, Bangladesh 38, Filipina 32, dan Malaysia 23.
Investor, khususnya di sektor migas, kesehatan, dan jasa keuangan dinilainya sangat sensitif terkait kebocoran data. Keamanan digital menjadi biaya tersendiri dalam sebuah perusahaan.
"Investor yang berkaitan dengan data sensitif seperti sektor migas, kesehatan, jasa keuangan akan meningkatkan keamanan digitalnya. Artinya, ada hubungan antara seringnya kebocoran data dengan biaya keamanan digital yang dikeluarkan oleh perusahaan," kata Bhima kepada VIVA, Kamis 9 September 2021.
Menurutnya, memang perlu ada secepatnya UU perlindungan data pribadi. "Lambannya penanganan kasus kebocoran data, hingga lubang regulasi karena belum adanya UU Perlindungan Data Pribadi membuat kepercayaan investor makin tergerus," ujar Bhima.
Sementara itu, Pakar Telematika, Roy Suryo mengatakan, soal data bocor memang harus ada penanggung jawabnya. Karena UU PDP masih lama rampung, Roy menyarankan, kementerian penyelenggara aplikasi, misalnya, juga perlu mengevaluasi mitra penyelenggara sistem elektroniknya (PSE).
"Kenapa menyelenggarakan sebuah hal yang kemudian tidak melalui mekanismenya dengan benar. Semua pihak bertanggung jawab," kata Eks Menpora itu dalam videonya di Twitter yang dibagikan kepada VIVA.