Cegah Blunder, Revisi Permen ESDM Soal PLTS Atap Sebaiknya Batal

Instalasi solar cell atau PLTS di Pesantren Wali Barokah Kediri
Sumber :

VIVA – Rencana pemerintah merevisi Permen ESDM Nomor 49 tahun 2018 terus menjadi perdebatan. Sebab, revisi tentang PLTS Atap tersebut mengabaikan potensi uang APBN yang menguap tanpa nilai tambah industri nasional produsen PLTS.

Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Mukhtasor, menilai potensi uang APBN yang menguap itu karena perubahan skema ekspor impor PLTS Atap ke jaringan listrik PLN dari 1:0,65 menjadi 1:1.

Padahal kata dia, sebelum Permen itu direvisi lebih rasional dan adil. Di mana setrum yang diproduksi oleh PLTS Atap diekspor ke jaringan PLN pada siang hari, dan digunakan oleh pemasang PLTS Atap pada malam hari dengan dikurangi 35 persen sebagai kompensasi biaya penyimpanan listrik.

Baca juga: Tuan Guru Bajang Jadi Wakil Komisaris Utama BSI

Dengan demikian, kompensasi ini merefleksikan biaya untuk mengatasi berbagai masalah, diantaranya listrik yang berubah menjadi panas selama masa transmisi, perbedaan biaya pembangkitan pada siang dan malam hari, serta biaya menyalakan pembangkit untuk siaga mengantisipasi ketidakpastian pasokan PLTS karena cuaca dan sebagainya. Skema ini diistilahkan 1:0,65. 

"Draft Revisi Permen ESDM mengabaikan biaya-biaya tersebut, di mana semua listrik yang diekspor siang dapat 100 persen diimpor kembali malam. Istilahnya skema 1:1. Sehingga, kompensasi biaya penyimpanan ditanggung oleh PLN," jelas mantan anggota Dewan Energi Nasional dalam keterangan tertulisnya, Rabu 25 Agustus 2021.

Ia menjelaskan, dengan skema revisi Permen itu ketika beban keuangan ditanggung dan menimpa PLN, pada akhirnya menjadi beban APBN, karena  kerugian PLN akan menjadi tanggungan pengeluaran APBN. 

Lebih dari itu, PLN juga menanggung konsekuensi lain, misalnya tergerusnya penggunaan listrik PLN padahal konsumsi pelanggan itu dahulu masuk dalam perhitungan ketika Pemerintah menugaskan PLN melaksanakan percepatan 10.000 MW dan 35.000 MW. 

Padahal, produksi listrik dari program penugasan tersebut sudah masuk ke sistem PLN, dan saat ini sedang over supply. Artinya, ada risiko pemborosan nasional tetapi tidak diiringi dengan nilai tambah industri nasional.

Oleh karena itu banyak saran agar Pemerintah membatalkan Draft Revisi Permen ESDM tersebut. Sebagai gantinya, Mukhtasor menyarankan strategi menguatkan industri nasional produsen solar cell. 

Di mana, uang yang semula harus digunakan menutup kompensasi biaya penyimpanan setrum dari PLTS Atap tersebut, diubah menjadi insentif untuk industri nasional rantai pasok PLTS, utamanya produsen solar cell. Seperti
Insentif finansial, fiskal, pajak dan non fiskal lainnya. 

Dengan demikian, harga solar cell dari industri nasional di pasaran makin kompetitif, dan pengguna PLTS Atap bisa membelinya lebih murah. Keekonomian PLTS Atap juga akan meningkat baik. Minat dan dukungan pada PLTS Atap akan meningkat.

Lebih dari itu, ada yang lebih penting. Strategi memperkuat industri nasional solar cell dalam negeri ini justru sesuai dengan PP No. 14/2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035, yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 6 Maret 2015. 

Dalam PP tersebut, Pemerintah menetapkan tiga tahap pembangunan industri 2015-2019, 2020-2024, dan 2025-2035. Diantara enam jenis industri andalan dalam Pembangunan Industri Nasional, industri pembangkit energi adalah salah satunya. 

Menariknya, solar cell adalah primadona dalam perencanaan industri andalan tersebut, karena solar cell tetap diutamakan pada seluruh tahapan rencana pembangun industri 2015-2035 tersebut.

Sayangnya, Mukhtasor menekankan, draft revisi Permen ESDM saat ini mengabaikan amanat PP tersebut, sehingga membuka pintu masalah di mana potensi kemampuan APBN justru akan menguap.

Selain itu, menurut Mukhtasor, Draft revisi Permen ESDM tersebut justru kontra produktif atau bertentangan dengan strategi pengembangan industri nasional solar cell yang diamanatkan PP No. 14/2015. 

Di mana ketika fasilitasi dan insentif belum dilaksanakan, captive market belum diamankan, namun Revisi Permen tersebut disahkan, maka pertumbuhan permintaan soal cell akan jatuh pada perangkap importir partikelir, tanpa nilai tambah pada industri nasional. 

"Ini artinya, Draft Revisi Permen juga bertentangan dengan PP No. 79/2014, bahwa energi adalah modal pembangunan, di mana pembangunan energi harus diarahkan salah satunya untuk menciptakan nilai tambah nasional," ujarnya.