Firman Soebagyo: Pungutan Pajak ke Rakyat Jangan Membabi Buta

Anggota DPR Firman Soebagyo.
Sumber :

VIVA – Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo merespons cepat keluhan masyarakat terkait rencana pemerintah tentang kebijakan pungutan pajak dan penambahan kewenangan Peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak (PPNS DJP).

Menurutnya, kewenangan yang berlebihan hanya akan membawa dampak negatif terhadap tatanan kehidupan sosial di masyarakat. Terlebih dalam situasi masih menghadapi pandemi COVID-9 yang belum kunjung usai.

Firman yang juga anggota Badan Legislasi DPR RI itu meminta Kementerian Keuangan agar jangan membabi buta melakukan pungutan PPN kepada masyarakat terkait wacana yang ada dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) untuk sembako dan pendidikan. 

Hal ini juga diyakini akan menimbulkan penurunan kepercayaan masyarakat pada kepemimipinan Jokowi di pemerintahan yang selama ini sudah dianggap cukup baik. Firman mengatakan, dirinya sangat memahami kesulitan pemerintah dalam menaikkan penerimaan negara dari pajak.

“Defisit fiskal pemerintah yang cukup besar mendorong Menteri Keuangan yang konon katanya Menteri Keuangan terbaik di dunia mulai kehilangan akal sehat dalam membuat kebijakan pemungutan pajak. Jika ini diterapkan, pemerintah akan menghadapi tantangan besar dari rakyat dan akan berdampak negatif, karena sembako dan pendidikan adalah menyangkut harkat hidup orang banyak”, tegas senior Partai Golkar itu dikutip dalam keterangan resmi, Sabtu 12 Juni 2021.

“Memangnya tidak ada opsi lain kecuali kebijakan yang semakin menindas rakyat?,” lanjut anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar dari dapil Jateng 3 yang dikenal dekat dengan masyarakat itu.

Baca juga: Menag Yaqut: Kita Fokus Persiapkan Haji 1443 H

Firman juga menjelaskan, cita-cita dan semangat UU Cipta Kerja No 11 tahun 2020 jelas bahwa penyederhanaan terhadap berbagai regulasi dan pelayanan di masyarakat dimudahkan guna mendorong laju pertumbuhan ekonomi dalam menghadapi masa pendemi dan pascapandemi yang salah satunya melalui Usaha Kecil dan Menengah.

“UKM itu bumper pemulihan ekonomi nasional. UU Cipta Kerja belum terlaksana di lapangan tetapi UKM sudah akan ditimpa beban pengenaan pajak sembako dan pendidikan. Saya pikir ini kebijakan yang keblinger dan tidak ketemu nalar sehat. Kecuali kalau Menkeu kita sengaja ingin menjatuhkan kredibilitas pemerintahan Jokowi, ini menjadi persoalan politik lain”, ungkap Firman.

Oleh karenanya Firman mengimbau para koleganya di DPR yang akan membahas revisi UU KUP agar menolak dan membatalkan pasal-pasal yang berpotensi memberatkan masyarakat.

Di sisi lain, Firman juga memberikan contoh pembebasan pungutan PPnBM kendaraan bermotor dan pembebasan pajak bagi orang Indonesia yang membawa penerimaan dividen dari investasi di luar negeri untuk investasi di dalam negeri yang dilakukan pemerintah melalui UU Cipta Kerja yang seharusnya didorong oleh Menteri Keuangan. Bukan dengan membuat kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.

“Wacana penambahan kewenangan PPNS DJP yang berlebihan ini pernah dimasukkan dalam RUU Cipta Kerja dan sudah ditolak oleh DPR, ini Menteri Keuangan apakah sedang coba-coba mau bermain api? Saya tidak habis pikir sebenarnya ini gagasan siapa?”, tambah Firman.

Seperti diketahui kewenangan PPNS tetap harus merujuk pada KUHP dan KUHAP, di bawah koordinasi Polri. Lembaga yang bukan merupakan penegak hukum tidak dapat sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya. Masih lekat di ingatan publik kasus Gayus, pegawai pajak yang kini masih meringkuk di penjara.

“Jika ada sebuah lembaga yang diberikan kewenangan lebih, maka akan menimbulkan abuse of power. Saya tidak yakin dengan kredibilitas PPNS DJP sekarang ini dan harus hati-hati. Ketika PPNS dengan kewenangannya membabi buta sampai punya kewenangan melakukan penyitaan aset, itu justru dapat menghancurkan perekonomian kita," imbuh Firman.

Lebih lanjut, Firman mengajak untuk belajar banyak dari Polri di bawah kepemimpinan Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo yang menyelesaikan persoalan hukum dengan tepat, dan tidak serta merta berakhir dengan pidana penjara. Terlebih, tidak ada jaminan ASN pajak semuanya bersih.

“Sekali lagi berhati-hatilah membuat regulasi ini. Pemerintah harus mau mendengarkan suara rakyat. Kita sebagai pengelola negara harus peka terhadap penderitaan rakyat yang sudah memasuki tahun kedua pandemi, berjibaku mengorek saku menghadapi musibah ini. Masih banyak opsi lain yg bisa ditempuh untuk mendongkrak penerimaan negara dan mengatasi defisit anggaran. Semoga Menkeu sadar tentang hal ini," ujarnya.