Menkeu Sebut SiLPA Tinggi untuk Antisipasi Kenaikan Inflasi di AS

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Sumber :
  • (ANTARA/HO-Humas Kemenkeu/pri.)

VIVA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, isu kenaikan inflasi di Amerika Serikat menjadi sesuatu yang harus diwaspadai. Sebab, ini menjadi isu yang menimbulkan risiko tinggi terhadap stabilitas sektor keuangan Indonesia.

Sri menekankan, Pemerintah harus melakukan antisipasi, salah satunya dengan memperkuat strategi pembiayaan anggaran. Strategi ini bedampak pada tingginya angka Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA).

"SiLPA kita memang tinggi tapi ini kan karena buffer yang carry over dan kebutuhan belanja serta strategi pembiayaan karena antisipasi adanya kenaikan inflasi yang terjadi di AS yang berpotensi timbulkan ketidakpastian dalam pembiayaan kita," kata dia Selasa, 25 Mei 2021.

Baca juga: Harga Emas Hari Ini 25 Mei 2021: Global dan Antam Meredup

Hingga April 2021, SiLPA tercatat sebesar Rp254,2 triliun naik sekitar 68,67 persen dari realisasi pada periode yang sama pada tahun sebelumnya sebesar Rp150,7 triliun. Semakin tinggi SiLPA maka artinya semakin banyak anggaran yang tidak termanfaatkan.

Meski begitu Sri menekankan, inflasi di AS yang terus menguat hingga April 2021 mencapai 4,2 persen, memberikan risiko menekan pemulihan ekonomi negara-negara emerging market seperti Indonesia. Serta, menambah risiko normalisasi moneter lebih cepat.

"Inflasi di AS tadi saya sebutkan 4,2 persen itu adalah sautu angka yang tinggi menimbulkan kewaspadaan yang tinggi atau was-was di sektor keuangan. Tekanan yield yang terjadi di AS akibat inflasi yang melonjak tinggi," papar dia.  

Secara umum, dia melanjutkan, tekanan inflasi ini telah membuat imbal hasil US Treasury naik dari Januari 1,06 persen menjadi 1,62 persen pada April. Peningkatan hampir 60 persen ini menurutnya menyebabkan meroketnya nilai tukar dolar AS.

"Sekarang kita sudah melihat itu di tahun 2020 tapi di April 2021 sudah turun, sudah mulai terjadi pemulihan kembali jadi emerging market sangat bergantung sekali dengan sentimen global," tegas Sri.

Namun, dengan kenaikan imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun tersebut, selisih atau spread yield dengan Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun juga terus mengalami penyusutan. Sehingga ini akan berdampak baik terhadap peringkat utang Indonesia.

"Yield Indonesia malah bisa tetap bertahan sehingga spread-nya mengecil ke 66 basis poin dibanding pada awal tahun yang spread-nya 110. Ini sesuatu yang perlu kita jaga karena spread ini menunjukkan rating kita dalam membayar utang-utang pada level global," katanya.

Dengan perkembangan tersebut, indikator makro ekonomi Indonesia berdasarkan data Sri menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah bergerak di level Rp14.285 per dolar AS secara tahun berjalan dan suku bunga SBN 10 Tahun 6,41 persen.