Pengelolaan Hutan Metode Ini Bisa Tekan Angka Kemiskinan

Foto udara kawasan hutan lindung di Cikole, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Ja
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

VIVA – Hutan yang dikelola secara sosial dinilai bisa jadi pusat ekonomi baru bagi masyarakat juga sekaligus mengentaskan kemiskinan dan menjaga kelestarian hutan. Meski demikian kawasan hutan masih dihadapkan beragam persoalan seperti ancaman deforestasi hingga kesenjangan ekonomi.

Hasil studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM UI) menyatakan, masyarakat yang tinggal di kawasan hutan merupakan kelompok dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia.

Karena itu, program Perhutanan Sosial lahir pada 2015 untuk menjawab persoalan yang ada di kawasan hutan. Program ini memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengelola kawasan hutan sekaligus melestarikannya mendirikan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).

Baca juga: PT PP Kebut Proyek KIT Batang, Investor Bisa Segera Bangun Pabrik

Dalam program itu ada lima skema pengelolaan yang ditetapkan, yaitu Hutan Adat, Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan (HKm), Kemitraan Kehutanan, dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Program ini ternyata mampu memberikan peluang ekonomi baru seperti agroforestri dan ekowisata di sekitar kawasan hutan.

Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial Swary Utami Dewi memaparkan, saat ini sudah ada 4,5 juta hektare luas Perhutanan Sosial, per Maret lalu, dari target pemerintah 12,7 Ha. Sebab, terdapat 50,74 persen desa berada di sekitar kawasan hutan.

“Perhutanan Sosial sendiri dapat membantu mengentaskan satu per tiga kemiskinan di Indonesia,” kata Swary dalam diskusi Earth Day Forum 2021, dikutip Jumat, 23 April 2021.

Pada kesempatan yang sama, Ketua HKm Seberang Bersatu Bangka Belitung Marwandi juga mengatakan Perhutanan Sosial membantu masyarakat menyulap lahan bekas tambang menjadi lokasi ekowisata. Setelah mendapat izin kelola pada 2015 silam, kolaborasi dengan Pemerintah Pusat dan Daerah juga pihak lainnya sudah berjalan untuk memperluas usahanya.

“Waktu buat HKm itu, tantangan terberatnya justru dari masyarakat kita sendiri karena tahu areal bekas tambang dan potensi timah masih ada di sini,” ujar Marwandi.

Sosialisasi ke masyarakat pun akhirnya berhasil dan dapat menghasilkan pemasukan dengan total mencapai Rp2,1 triliun sejak tiga tahun terakhir. Kini, HKm Seberang Bersatu ke depannya juga akan mengelola silvofishery dan sektor usaha lainnya.

Lebih lanjut Utami menegaskan, program ini membantu masyarakat memiliki cara legal untuk meningkatkan ekonomi, melestarikan budaya, dan menjaga hutan. Karena itu, perlu adanya peta jalan untuk memungkinkan kolaborasi pemberdayaan masyarakat.

“Urusan Perhutanan Sosial pada saat sudah keluar akses legal itu jadi urusan semua pihak, tidak hanya urusan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” katanya.