Tarif Cukai Tak Diimbangi Pengawasan, Harga Rokok Dianggap Masih Murah
- VIVAnews/Arrijal Rachman
VIVA – Harga jual rokok di tingkat eceran ternyata terbilang masih murah meskipun adanya kebijakan kenaikan tarif cukai tembakau yang tiap tahun dikeluarkan pemerintah. Ini disebabkan tidak adanya pengawasan dan regulasi ketat terhadap harga jual eceran (HJE).
Peneliti Center of Human and Economic Development Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (CHED ITB-AD) Adi Musharianto mengatakan, kebijakan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) saat ini memungkinkan harga jual rokok di bawah 85 persen dari harga pada pita cukai atau Harga Jual Eceran (HJE) yang telah ditetapkan Pemerintah.
Akibatnya, perusahaan-perusahaan terutama yang berskala besar berbondong-bondong menjual produknya jauh di bawah harga banderol. Keberadaan rokok murah di pasar pun diperkirakannya bakal semakin merajalela seiring lemahnya kebijakan pengawasan harga jual rokok.
"Percuma saja cukai rokok naik sampai 23 persen (tahun lalu) kalau realisasi HJE-nya disunat sampai puluhan persen,” tegas Adi di Jakarta, Jumat, 5 Maret 2021.
Variabel kenaikan cukai yang tidak diikuti kebijakan pengawasan harga yang optimal itu dinillainya sebagai kebijakan yang tidak selaras dan mencederai upaya pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia.
Dia pun meminta pemerintah meninjau kebijakan pengawasan harga ini dan memastikan pabrikan rokok tunduk terhadap ketentuan cukai dan HJE yang telah ditetapkan.
“Variabel kenaikan cukai itu seharusnya menurunkan variabel prevalensi merokok, faktanya prevalensi turun sedikit atau inelastis dengan kenaikan cukai, bahkan prevalensi bisa naik akibat ada kebijakan lain yang tidak searah,” tegas Adi.
Pelanggaran menjual lebih kecil dari harga banderol itu disebabkan karena aturan yang dikeluarkan oleh peraturan bea cukai yg memperbolehkan menjual di bawah 85 persen dari harga banderol. Di antaranya aturan Dirjen Bea dan Cukai No.37 Tahun 2017, PMK Nomor 146/2017, Perdirjen Bea dan Cukai Nomor 25/2018.
"Jenis SKM-I di PMK 152/2019, itu ditetapkan paling rendah Rp 1700/batang, belum ada cukai, PPN dan pajak rokok. Faktanya, Industri rokok alih-alih atau jangankan merealisasikan Rp1700/batang, mereka menetapkan HJE Rp960/batang dan tidak ada teguran," ungkap dia.
Merebaknya peredaran rokok murah di Indonesia juga diamini Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Cukai Kudus Gatot Sugeng Wibowo yang mengakui pandemi COVID-19 membuat daya beli masyarakat melemah, sehingga mereka mengalihkan konsumsinya ke produk yang lebih murah.
“Di Kudus ada satu perusahaan yang turun golongan dari golongan I menjadi golongan II. Alasannya omzet penjualan turun akibat pelemahan daya beli, selain itu kenaikan tarif cukai sehingga harga rokok dinaikkan semakin mahal,” kata Gatot.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/2020 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, perusahaan rokok di Indonesia dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan jumlah produksi rokoknya dalam satu tahun.
Perusahaan di golongan I dengan produksi lebih dari 3 miliar batang setahun dikenakan tarif cukai rokok tertinggi. Adapun golongan II dan III dengan produksi kurang dari 3 miliar batang setahun dikenakan tarif cukai yang lebih rendah.
Kenaikan produksi di golongan 2 dan 3 ini diprediksi tak hanya membuat konsumsi rokok murah naik, namun juga mengurangi pendapatan negara dari cukai rokok. Gatot memprediksi, kontribusi pabrik rokok golongan II dan III rata-rata naik menjadi antara 30-45 persen, namun belum dapat menutup kekurangan (shortfall) penerimaan cukai dari penurunan penjualan rokok golongan I.