Hadapi Tantangan Pandemi COVID-19, RI Desak WTO Direformasi
VIVA – Pemerintah Indonesia mendesak supaya Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) direformasi. Tujuannya, untuk menghadapi berbagai tantangan global yang salah satunya adalah krisis yang disebabkan Pandemi COVID-19.
Hal ini disampaikan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi saat Pertemuan Informal Tingkat Menteri WTO secara virtual dikutip Selasa, 2 Februari 2021. Pertemuan diikuti 29 negara anggota dengan agenda untuk membahas peran WTO tantangan di tengah pandemi.
“Pandemi COVID-19 telah mempengaruhi stabilitas ekonomi global dan menjadi perhatian seluruh anggota WTO. Untuk itu, reformasi WTO diperlukan untuk mendukung peran strategis WTO dalam menghadapi tantangan global, khususnya krisis yang disebabkan pandemi,” kata dia saat itu.
Mayoritas perwakilan pemerintah negara, dalam pertemuan itu, menyampaikan komitmen menjaga kredibilitas sistem perdagangan multilateral dan juga mendesak penunjukan Direktur Jenderal WTO yang baru dan anggota Badan Tingkat Banding guna memulihkan kembali fungsi sistem penyelesaian sengketa di WTO.
“Dalam mengembalikan kepemimpinan di WTO, sangatlah penting untuk menyelesaikan penunjukan Dirjen WTO yang baru, serta mengembalikan kepercayaan global pada sistem perdagangan multilateral melalui penunjukan anggota pada Badan Tingkat Banding WTO,” tutur Lutfi.
Pada kesempatan itu, Lutfi juga menekankan pentingnya kepastian akses yang adil dan terjangkau untuk barang-barang medis, termasuk vaksin, serta langkah-langkah untuk memfasilitasi perdagangan, kekayaan intelektual, dan transparansi.
"Seperti usulan pengabaian ketentuan tertentu dari Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Agreement. Apabila diperlukan, kita mengupayakan kesepakatan tingkat Menteri agar tindakan-tindakan tersebut bersifat sementara, mempunyai target, dan proporsional sehingga tidak disengketakan di WTO di kemudian hari,” ucap dia.
Adapun isu prioritas lain untuk dibahas secara serius pada Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-12, yaitu isu kebijakan perdagangan pertanian dan isu-isu baru, seperti peraturan jasa domestik, niaga elektronik, fasilitasi investasi, lingkungan yang berkelanjutan, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), serta pemberdayaan ekonomi wanita.