Kejar Realisasi Investasi, Insentif Pajak Tak Bisa Dipukul Rata
- ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman
VIVA – Besarnya komitmen investasi yang masuk ke Indonesia sepanjang 2020 tampaknya tak berbanding lurus dengan realisasi investasi yang masuk. Hal ini cukup disayangkan, sehingga butuh strategi khusus untuk mengejar komitmen tersebut.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengatakan, rencana investasi asing ke Indonesia sebetulnya cukup tinggi. Namun, realisasi komitmen investasi masih rendah.
Penyebabnya, kata dia adalah investor kerap menemui berbagai hambatan merealisasikan rencananya. Selain soal perizinan, lahan, dan tenaga kerja, hambatan investasi juga dipicu kurang ketatnya koordinasi antara kementerian dan lembaga sertai permasalahan hubungan pemerintah pusat dan daerah.
Tak hanya itu, sejumlah hal lain menjadi pertimbangan investor dalam merealisasikan investasi yaitu insentif pajak. Sebab, kompetisi antarnegara dalam memperebutkan investasi dilakukan dengan insentif pajak agar menjadi pemanis untuk menambah daya tarik suatu negara.
Saat ini, lanjut Yusuf, tarif pajak di Vietnam memang lebih rendah dibandingkan Indonesia. Meski begitu, insentif pajak di Indonesia sebetulnya tak kalah menarik. Seperti, revisi atas ketentuan tax holiday dengan menambah sektor industri yang berhak memperoleh insentif maupun memperpanjang tax holiday atau waktu libur pajak.
"Sayang, tidak banyak yang memanfaatkan berbagai insentif pajak yang ditawarkan pemerintah sehingga realisasi investasi juga tidak naik tinggi," kata Yusuf, kepada media, Kamis 10 Desember 2020.
Menurut Yusuf, insentif pajak yang tidak terlalu berdampak signifikan terhadap realisasi investasi karena insentif pajak memang bukan pertimbangan utama bagi investor dalam merealisasikan investasinya. Namun, bisa juga karena insentif pajak tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan investor.
Itu sebabnya, Yusuf bilang, perlu juga mempertimbangkan pemberian insentif berdasarkan kebutuhan industri yang akan dibidik oleh investor. Tentu, ini membutuhkan usaha yang lebih besar untuk menghitung kebutuhan insentif setiap sektor dan berapa lama imbal hasil masing-masing sektor.
"Ini mungkin saja dilakukan dalam rangka menarik investasi untuk mendorong masing-masing industri," tutur Yusuf.
Pemberian insentif dalam rangka menarik investasi tidak bisa dipukul rata. Karena, investor yang berkomitmen untuk berinvestasi datang dari berbagai jenis industri mulai industri manufaktur, barang konsumen hingga produk inovasi seperti mobil listrik. Hal ini menunjukkan bahwa investor membutuhkan jenis insentif yang berbeda.
Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal (BKPM) Ikmal Lukman sebelumnya mengatakan, meski di tengah tantangan akibat pandemi COVID-19, daya tarik investasi di Indonesia tetap menjanjikan.
“Ada (perusahaan global) yang ingin segera masuk ke Indonesia, ada juga yang sudah masuk dan ingin melakukan peningkatan produksi dan perluasan pabrik. Kita akan dengar apa harapan-harapan mereka. Tentu ini bisa menjadi sentimen positif bagi investasi di tengah pandemi ini,” ujar Ikmal.
Akan tetapi, di tengah kondisi resesi seperti ini, tampaknya urgensi realisasi investasi sangat diharapkan untuk dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Sudah saatnya, pemerintah kembali menindaklanjuti proposal-proposal investasi yang sudah masuk agar dapat membantu pemulihan ekonomi nasional pada 2021.
Seperti diketahui, berdasarkan data BKPM hingga kuartal III-2020, tercatat bahwa realisasi investasi di RI baru mencapai sebesar Rp611,6 triliun. Secara persentase, jumlah itu sudah mencapai 74,8 persen, dari target pada 2020 sebesar Rp817,2 triliun.