UU Cipta Kerja Lebih Ketat Atur Bisnis Haji Khusus dan Umrah
- Dokumentasi Kemenag
VIVA – Kementerian Agama menyatakan, Omnibus Law Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengatur lebih ketat bisnis penyelenggaraan ibadah haji khusus dan umrah.
Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Kemenag, Arfi Hatim, mengungkapkan, pengetatan itu tergambar dari definisi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).
Berbeda dengan Undang Undang Nomor 8 Tahun 2019, UU Cipta Kerja menetapkan untuk bisa mendapat izin PIHK dan PPIU, pemilik dan pengelola harus warga negara Indonesia yang beragama Islam.
Baca juga: Vaksin COVID-19 Tahap Pertama Diutamakan untuk Tenaga Kesehatan
"Ini ada sedikit perubahan dari UU sebelumnya sehingga di UU Cipta Kerja ini lebih ketat dan tegas bahwa penyelenggara itu dikelola oleh WNI yang beragama Islam," kata Arfi, Senin, 7 Desember 2020.
Di sisi lain, dia menegaskan, Kemenag juga menetapkan perizinan berusaha untuk sektor haji khusus dan umrah ini berbasis risiko tinggi. Untuk itu, membutuhkan Nomor Induk Berusaha dan izin.
Tingkat risiko bisnis
Meski begitu, dia mengklaim, sebelum aturan pelaksana dari undang-undang ini ditetapkan, pemerintah masih membuka ruang bagi para pelaku usaha memberikan masukan terkait tingkat risiko bisnis tersebut.
"Kalau ingin diturunkan tingkat risikonya tinggi misalnya, kemudian diturunkan menjadi menengah tinggi, maka tidak diperlukan lagi izin. Sehingga yang diperlukan adalah NIB dan sertifikat standar," ucap dia.
Namun, di sisi lain, untuk memberikan insentif dalam bentuk kemudahan berusaha, persoalan sanksi ada sedikit perubahan, dan menjadi lebih bersifat pembinaan agar hak-hak jemaah tuntas terpenuhi.
"Tapi perlu diketahui juga bahwa dalam pemberian sanksi itu ada dua sifat, satu sifatnya pembinaan, yang satu yang memang masuk kategori pelanggaran berat, nanti kita akan lihat," tutur Arfi. (art)