Pemerintah Diminta Tak Buru-buru Ratifikasi RCEP, Apa Minusnya
- dw
Indonesia, bersama 14 negara lainnya di kawasan Asia-Pasifik, pada Minggu (15/11) baru saja menandatangani perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif regional (RCEP) yang disebut-sebut sebagai perjanjian perdagangan bebas terbesar di dunia.
Dikutip dari pernyataan resmi Kementerian Perdagangan RI, perjanjian ini akan mencakup 30,2 persen dari total Produk Domestik Bruto dunia, yang melibatkan negara-negara dengan jumlah penduduk mencapai 29,6 persen populasi dunia.
Pakta perdagangan bebas ini diharapkan akan membantu memulihkan perekonomian negara-negara di kawasan regional yang terkena imbas wabah corona. Selain itu, perjanjian ini juga dinilai dapat mempermudah prosedur bisnis, pergerakan barang dan jasa, serta menyederhanakan proses berinvestasi.
Masih belum ada waktu pasti kapan pakta tersebut akan diratifikasi tetapi diperkirakan akan mulai berlaku tahun depan. Seperti dikutip dari kantor berita Reuters, setidaknya perlu ratifikasi dari enam negara ASEAN dan tiga negara bukan anggota ASEAN sebelum perjanjian ini bersifat mengikat.
Jangan lupakan dampak sosial dan HAM
Pemerintah mengatakan bahwa RCEP dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional dan meningkatkan ekspor Indonesia hingga 7,2 persen. Dalam keterangan resmi, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan bahwa RCEP akan mendorong Indonesia terlibat lebih jauh ke dalam rantai pasok global.
“Indonesia harus memanfaatkan arah perkembangan ini dengan segera memperbaiki iklim investasi, mewujudkan kemudahan lalu-lintas barang dan jasa, meningkatkan daya saing infrastruktur dan suprastruktur ekonomi, dan terus mengamati serta merespons tren konsumen dunia,” ujar Menteri Agus.
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti, mengatakan bahwa implikasi RCEP terhadap kehidupan masyarakat Indonesia akan sangat luas, dan tidak hanya terbatas pada masalah perdagangan dan ekonomi.
Rachmi meminta pemerintah agar tidak terburu-buru meratifikasi perjanjian ini, dan terlebih dahulu melakukan studi terhadap dampak sosial dan hak asasi manusia yang berpotensi muncul sebagai akibat implementasi perjanjian ini.
“Ini menjadi concern kami ketika perjanjian ini akan masuk ke DPR. Ini yang kami desak ke DPR: baca teksnya, dilihat, di-scrutinize, analisis lagi dampaknya, jadi jangan hanya melihat dari segi ekspor dan impor... Analisis dampaknya secara komprehensif dan detil, kita tidak akan pernah tahu dampaknya kalau kita tidak pernah mencermati dan menganalisis aturan-aturan itu secara baik,” tegas Rachmi dalam wawancara dengan Deutsche Welle Indonesia, Senin (16/11).
Ia juga mempertanyakan sejauh mana komitmen untuk memenuhi hak-hak publik rakyat, ketimbang memenuhi kepentingan korporasi dan investasi. Selain itu, Rachmi pun mendesak pemerintah untuk membuka diskusi dan mempertimbangkan masukan kritis dari masyarakat sebelum mengimplementasikan poin-poin yang tertuang dalam RCEP.
Kantor berita Reuters mencatat bahwa RCEP dinilai tidak terlalu banyak membahas hak-hak buruh, perlindungan lingkungan, hak kekayaan intelektual, dan mekanisme penyelesaian perselisihan.
Neraca perdagangan dikhawatirkan makin defisit
Salah satu kekhawatiran yang juga muncul adalah tentang kemungkinan membanjirnya produk-produk impor murah ke pasar domestik, utamanya dari China dan Australia.
Pengamat Ekonomi dari Institute for Development on Economic (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan bahkan sebelum ditandatanganinya kesepakatan RCEP, neraca perdagangan Indonesia dengan dua negara besar yakni Australia dan China telah defisit.
Sampai dengan September 2020, neraca dagang Indonesia dengan China dan Australia masing-masing defisit senilai 6,6 miliar dolar AS dan 1,5 miliar dolar AS. Apabila ditambah adanya liberalisasi penurunan tarif, defisit perdagangan Indonesia dengan negara mitra RCEP dikhawatirkan akan semakin melebar.
“Selain itu, RCEP menjadi ancaman bagi produk lokal. Sebelum ada RCEP saja produk impor dari Cina banjir, baik di e-commerce maupun melalui perdagangan konvensional,” ujar Bhima kepada DW Indonesia melalui pesan singkat, Senin (16/11).
Usulan berlakukan lebih banyak hambatan nontarif
Untuk mengatasinya, hambatan nontarif dapat dijadikan solusi guna menekan laju impor. Bhima dari INDEF menyebutkan bahwa cara ini lumrah dilakukan oleh negara-negara seperti Cina dan Australia dalam beragam perjanjian perdagangan bebas sebelumnya.
“Kita bisa berikan hambatan misalnya lewat sertifikasi halal, SNI yang lebih ketat untuk produk impor, hingga sertifikasi lingkungan untuk produk tertentu. Ini kreativitas pemerintah untuk menari di atas kesepakatan liberalisasi perdagangan,” lanjut Bhima.
Bhima menegaskan bahwa tidak ada suatu negara pun yang mau terbuka pasar domestiknya begitu saja. “Kalau dilihat dari NTM (tindakan nontarif) Indonesia yang rendah, berarti Indonesia terlalu polos dalam perdagangan internasional. Terlalu naked,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan bahwa saat ini, hambatan nontarif yang diberlakukan oleh Indonesia baru mencapai 272 jenis, sementara China 2.194 jenis, Jepang 1.294 jenis, dan Australia 789 jenis. “Tanpa non-tariff barriers khususnya bidang pangan, akan merugikan petani dan kemandirian pangan dalam jangka panjang.”
Lebih lanjut, Bhima mengingatkan bahwa perjanjian RCEP tidak hanya menyangkut liberalisasi di bidang perdagangan, tetapi juga arus tenaga kerja dan permodalan asing. Dengan RCEP, sektor perbankan, asuransi, hingga perusahaan dalam negeri diperkirakan akan semakin didominasi oleh modal asing.
Implikasinya dinilai cukup serius terhadap nilai tukar rupiah dan pelebaran defisit transaksi berjalan. “Semakin banyak modal asing, setiap bagi-bagi dividen atau laba, uangnya akan dikonversi ke mata uang asing. Ini bisa berisiko melemahkan rupiah dalam jangka panjang,” ujar Bhima.
Sebelumnya, India telah menarik diri dari kesepakatan RCEP karena khawatir sektor industrinya yakni tekstil, susu dan pertanian akan terpukul. Ketiga sektor tersebut dinilai masih sangat rentan di India. (ae/ha)