Jawaban Menaker Ida Soal 7 Tuntutan Buruh Terkait UU Cipta Kerja
- Repro video.
VIVA – Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menanggapi tujuh tuntutan dari aliansi buruh yang menolak Undang-undang Cipta Kerja. Mulai dari perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) seumur hidup, outsourcing, tolak jam kerja eksploitatif, hingga hak cuti.
Ida pun menegaskan, hal itu menjadi poin-poin positif yang terangkum dalam klaster ketenagakerjaan Undang-undang Cipta Kerja.
"Terdapat prinsip-prinsip umum yang dipatuhi dalam penyusunan klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja. Pertama, penyusunan ketentuan klaster ketenagakerjaan memperhatikan hasil putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi UU 13 Tahun 2003," kata Ida kepada awak media, Selasa, 6 Oktober 2020.
Baca juga: UU Ciptaker Tak Hilangkan Cuti Hamil hingga Haid, Ini Penjelasannya
Kemudian, ketentuan mengenai sanksi ketenagakerjaan dikembalikan kepada UU 13/2003. Ida mengatakan, RUU Cipta Kerja tetap mengatur syarat-syarat dan perlindungan hak bagi pekerja/buruh PKWT yang menjadi dasar dalam penyusunan perjanjian kerja.
Di samping itu, menurut dia, UU Cipta Kerja mengatur perlindungan tambahan berupa kompensasi kepada pekerja/buruh pada saat berakhirnya PKWT. Syarat-syarat dan perlindungan hak bagi pekerja atau buruh dalam kegiatan alih daya (outsourcing) masih tetap dipertahankan.
"Bahkan UU Cipta memasukkan prinsip pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh, apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya. Hal ini sesuai dengan amanat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011," kata Ida.
Di samping itu, lanjut Ida, dalam rangka pengawasan terhadap perusahaan alih daya, RUU Cipta Kerja juga mengatur syarat-syarat perizinan terhadap perusahaan alih daya yang terintegrasi dalam sistem Online Single Submission (OSS).
Sementara itu, ketentuan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat tetap diatur seperti UU eksisting (UU 13 Tahun 2003). Lalu, menambah ketentuan baru mengenai pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat pada sektor usaha dan pekerjaan tertentu.
"Hal ini untuk mengakomodir tuntutan perlindungan pekerja/buruh pada bentuk-bentuk hubungan kerja dan sektor tertentu yang di era ekonomi digital saat ini berkembang secara dinamis," ujarnya.
Sementara itu, Ida menegaskan, UU Cipta Kerja tetap mengatur hak-hak dan perlindungan upah bagi pekerja/buruh sebagaimana peraturan perundang-undangan eksisting (UU 13/2003 serta PP 78/2015). Dan kemudian selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah yang baru.
"Terdapat penegasan variabel dan formula dalam penetapan upah minimum berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Selain itu, ketentuan mengenai upah minimum kabupaten/kota tetap dipertahankan. Dengan adanya kejelasan dalam konsep penetapan upah minimum dimaksud, maka RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan mengenai penangguhan pembayaran upah minimum," katanya.