RI Masuk Jajaran Negara ASEAN yang Lambat Genjot EBT, Ini Solusinya
- Inhabitat
VIVA – Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Energi Bersih menegaskan, Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sangat penting untuk menentukan nasib pengelolaan energi berkelanjutan di masa depan.
Aturan itu akan menciptakan mekanisme pasar dan permintaan (demand) yang lebih pasti untuk mengembangkan energi terbarukan di Tanah Air. Mengingat, pengembangan EBT juga jadi salah satu kunci dalam mendorong pemulihan ekonomi pascapandemi virus Corona atau COVID-19.
Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Jannata Giwangkara, mengungkapkan, saat ini Indonesia jadi salah satu dari sedikit negara di Kawasan ASEAN yang belum memiliki UU khusus pengembangan EBT. Hal itu sangat disayangkan mengingat potensi EBT dalam negeri sangat besar.
Baca juga: Wapres Ma'ruf Sayangkan Pekerja RI Kalah Produktif Dibanding Malaysia
"Dari 13 negara di Asia Pasifik, sembilan negara di antaranya sudah memiliki UU khusus untuk energi terbarukan, bahkan sudah ada sejak tahun 2000," ujar Jannata dalam diskusi bertajuk 'Urgensi Energi Bersih dalam RUU EBT', Rabu 23 September 2020.
Jannata menekankan, Indonesia juga memiliki target bauran energi terbarukan yaitu energi primer sebesar 23 persen pada 2025. Kemudian, ada juga target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29-41 persen pada 2030 dan komitmen Indonesia dalam Kesepakatan Paris.
Namun, lanjut dia, target itu terancam susah dicapai. Sebab, pengembangan energi terbarukan di Indonesia sangat lambat, hingga 2018 baru mencapai 8,6 persen. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor salah satunya adalah kesenjangan kebijakan dan regulasi.
"Pemerintah memang sudah lebih dahulu menerbitkan UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, ketimbang mengatur energi terbarukan secara umum. Sehingga sudah menjadi semakin urgen memiliki UU tersendiri untuk energi terbarukan dalam era transisi energi dan dekarbonisasi ini," tuturnya.
Dia menjabarkan, sudah ada sejumlah instrumen positif yang muncul dalam draf RUU yang dapat menciptakan mekanisme pasar dan permintaan tersebut. Instrumen dimaksud seperti Standar Portofolio Energi Terbarukan (SPET) dan Sertifikat Energi Terbarukan (SET).
"SPET ini nanti harapannya bisa mewajibkan badan usaha energi untuk membangun atau memproduksi energi terbarukan dari portofolio yang sudah ada. Misal, perusahaan batu bara, saat ini sudah mengembangkan lini bisnis ke arah energi terbarukan," kata dia.
Menurut dia, terlepas dari sukses atau tidaknya RUU ini untuk fokus di energi terbarukan saja. Porsi energi berbasis fosil harus bisa ditekan agar bauran energi terbarukan bisa lebih meningkat.
Menurut Jannata, tahun ini dapat menjadi momentum penentu dan titik balik bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalan. Baik untuk mencapai target-target di Tanah Air, maupun kemajuan energi terbarukan di tingkat regional.
Sementara itu, Energy Project Lead Yayasan WWF Indonesia, Indra Sari Wardhani, mengatakan, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat melimpah dan tersebar di seluruh daerah, Karena itu, pemanfaatannya bisa lebih optimal apabila ada dasar hukum yang kuat.
"RUU EBT seyogyanya jadi payung hukum untuk dapat menggantikan peran energi fosil yang cadangannya semakin menipis serta berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat," tuturnya.
Tolak nuklir
Dalam draf RUU EBT, sumber energi dibagi menjadi dua yaitu sumber energi baru dan sumber energi terbarukan. Nuklir diklasifikasi sebagai sumber energi baru, sedangkan energi Matahari, angin, air, biomassa dan lainnya dikategorikan sebagai sumber energi terbarukan.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih pun menyatakan menolak nuklir dan energi baru berbasis energi fosil dimasukkan dalam RUU EBT.
Peneliti Yayasan Indonesia Cerah, Mahawira Singh Dillon, menyebutkan, penggunaan nuklir sebagai sumber energi untuk pembangkit akan sangat berisiko bagi Indonesia. Apalagi secara geografis, Indonesia terletak di kawasan Cincin Api (Ring of Fire) yang sangat aktif secara tektonik sehingga rawan bencana gempa bumi dan tsunami.
“Kondisi ini sangat berisiko dan berpotensi mengganggu operasional PLTN. Kita semestinya bisa belajar dari kasus PLTN Fukushima di Jepang,” kata Wira.
Selain itu, menurutnya, memasukkan nuklir ke dalam RUU EBT merupakan langkah yang kontraproduktif. Khususnya dengan dengan asas keberlanjutan, ketahanan energi nasional, serta asas kedaulatan dan kemandirian yang dicantumkan sebagai prinsip dasar penyusunan RUU ini.
Karena, cadangan uranium untuk mengoperasikan satu pembangkit nuklir dengan kapasitas 1.000 MWe, disebutnya hanya cukup hingga tujuh tahun.
“Jika Indonesia masih bersikeras untuk menjadikan nuklir sebagai sumber energi baru, maka tidak akan lama sebelum kita malah menjadi bergantung pada impor uranium dari luar negeri,” tuturnya. (art)