Dewan Moneter Dibangkitkan, Ekonomi RI Terancam Kembali Primitif

Logo Bank Indonesia.
Sumber :
  • VivaNews/ Nur Farida

VIVA – Pembentukan kembali Dewan Moneter dalam usulan revisi UU Nomor (RUU) 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dinilai sangat berisiko. Sebab, bisa jadi pintu masuk kepentingan politik elit dalam kebijakan Bank Indonesia.

Direktur Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mencontohkan, masuknya kepentingan politik ke dalam tubuh bank sentral pernah terjadi ketika Dewan Moneter terbentuk pada 1953. 

Berdasarkan fakta empirik, campur tangan politik di tubuh BI justru membuat sektor perekonomian dan politik berantakan. Hal itu tercermin dari inflasi tinggi hingga mencapai 58 persen pada 1998 saat krisis moneter terjadi. Nilai tukar rupiah pun anjlok dari kisaran Rp2.400 menjadi sekitar Rp16 ribu per dolar AS.

Baca juga: Soal Dewan Moneter, Faisal Basri: Pajak Anjlok, Kenapa BI Diobok-obok?

"Kita tahu menko perekonomian sudah ketua umum partai politik. Apakah menteri keuangan steril dari partai politik, itu kami pertanyakan. Kalau tidak steril itu agak susah dan itu pasti ada kepentingan," tutur Anthony dalam diskusi virtual dikutip Minggu 13 September 2020.

Anthony menjelaskan, pemisahan kepentingan politik dalam bank sentral sejatinya sudah menjadi standar internasional. Karena itu ada kekhawatiran, kepentingan politik justru membuat kebijakan BI jadi tidak terarah , seperti membuat kasus dana talangan (bailout) bisa berulang.

"Bagaimana kalau ada perusahaan yang harus bailout, yang seharusnya likuidasi tapi dengan itu (bailout) dia harus minta uang terus (ke BI)," tambahnya.

Selain itu, lanjut Anthony, usulan pembentukan Dewan Moneter dalam RUU Nomor (RUU) 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia juga dapat menghancurkan sistem moneter di Indonesia. Apalagi, menteri keuangan pun diberikan kewenangan untuk mengambil keputusan. 

Dalam RUU BI yang disampaikan Badan Legislatif DPR, Dewan Moneter terdiri dari Menteri Keuangan, satu orang menteri yang membidangi perekonomian, gubernur BI, deputi gubernur senior BI, dan ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan.

Susunan anggota tersebut menurutnya, serupa dengan Dewan Moneter pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Kala itu, keberadaan Dewan Moneter tersebut, justru memperburuk kondisi ekonomi.

"Kemudian COVID-19 datang fiskal bangkrut, tapi yang diutak-atik adalah moneter dibentuk lagi Dewan Moneter. Ini kita kembali jadi primitif lagi," ungkapnya.

Head of Research Data Indonesia, Herry Gunawan mengungkapkan hal senada. dia menilai itu bisa merusak independensi BI selaku bank sentral.

Menurutnya, apabila BI di bawah menkeu nanti akan berujung pada intervensi DPR. Padahal saat ini BI memiliki independensi tanpa intervensi dari pemerintah ataupun DPR. 

"Dalam praktik internasional sudah teruji independensi BI adalah yang terbaik. Kekuasaan harus dibagi seperti prinsip trias politica. Namun sekarang pemerintah mulai berlebihan," kata Herry.

Sementara itu ekonom senior Indef Enny Sri Hartati juga mengatakan, revisi RUU BI dibutuhkan untuk hal-hal selain merusak independensi BI. Salah satunya adalah mandatori peran BI untuk menciptakan lapangan kerja, seperti yang diperankan oleh The Fed di Amerika Serikat.

"Revisi UU BI dibutuhkan untuk fungsinya seperti akuntabilitas atau integritas. Tapi bukan mengamputasi independensi BI. Kita harus menambah peran BI untuk menciptakan lapangan kerja sehingga kebijakannya lebih kuat di sektor riil," singkatnya.