Misbakhun Koreksi Cara Pemerintah Tangani Krisis Akibat COVID-19

Politikus Partai Golkar, Mukhamad Misbakhun.
Sumber :

VIVA – Kebijakan pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19, dinilai banyak yang tidak pas. Baik itu antara solusi yang ditawarkan dengan penyebab permasalahannya. Akibatnya, dikhawatirkan penanganannya tidak tepat sasaran.

Seperti pemberian bantuan untuk kalangan miskin dan sangat miskin. Tapi ada yang tidak masuk dalam pantauan pemerintah. Yakni mereka yang berada di kelas menengah yang baru tumbuh tapi terpaksa turun akibat pandemi, dan mereka ini tidak mendapatkan sentuhan bantuan pemerintah.

"Kelas menengah yang baru turun kelas diatasi dengan apa, padahal mereka ini agresif dalam konsumsi,” ujar anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Golkar M. Misbakhun, dalam keterangan pers yang diterima VIVA.co.id, Minggu, 30 Agustus 2020.

Baca juga: Luhut: Resesi Bukan Akhir dari Segalanya

Menurutnya pemerintah perlu memikirkan dengan baik, apakah dengan menyalurkan bantuan kepada masyarakat miskin dan sangat miskin saja, bisa mendongkrak daya konsumsi. Dalam pandangannya, itu saja tidak cukup. Tidak bisa serta merta meningkatkan daya konsumsi dan daya belu masyarakat.

"Kompleksitas persoalan belum diselesaikan dengan kompleksitas tawaran solusinya,” katanya.

Disatu sisi, lanjut dia, untuk memenuhi uang yang kurang, pemerintah memilih jalan berhutang. Menurut Misbakhun, cara itu juga tidak sinkron karena hanya mengandalkan dana hutang dari pihak lain. 

"Saya sejak awal bicara soal cetak uang, quantitative easing,” kata pria yang pernah menjadi pegawai Dirjen Pajak itu.

Padahal, langkah seperti itu lanjut Misbakhun, justru dilakukan oleh banyak negara. Sementara pemerintah Indonesia malah tidak melakukannya.

“Pemerintah kan mazhabnya bukan yang menyetujui cetak uang dengan alasan berbeda currency dengan Amerika (USD), tetapi kan negara lain melakukannya,” katanya

Solusi lain yang menurutnya tidak tepat adalah penempatan dana di bank-bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Menurut Misbakhun, tidak ada negara G20 ataupun anggota BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan) yang mengatasi krisis akibat COVID-19 ini dengan penempatan dana di bank.

“Metode itu sangat aneh. Kita tidak punya succes story arround the world (kisah sukses di seluruh dunia) mengenai penempatan dana ini,” katanya.

Malah menurutnya, kebijakan itu berpotensi membuat bank-bank yang ketempatan dana pemerintah terguncang pada akhir Desember. Karena aturan audit BPK, bahwa dana negara harus masuk ke rekening pemerintah di Bank Indonesia pada 31 Desember. Kebijakan ini juga dikenal tutup buku APBN.

“Uang yang tadinya mengembara di mana pun harus ada di pemerintah. Bank yang tadinya mendapat dana penempatan suddenly shocked (tiba-tiba terguncang) karena duitnya harus mengalir ke rekening pemerintah di bank sentral,” tegasnya.

Hal lain kata dia, penjaminan loss limit yang dipercayakan kepada BUMN di bawah Kementerian Keuangan. Seperti Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII). 

“Tiba-tiba mandatnya ke sana (BUMN di bawah Kemenkeu). Saya melihat adanya ketidakpercayaan Kementerian Keuangan terhadap di luar institusi Kemenkeu dan ini akan menjadi problem kita,” katanya.