Insentif Karyawan Bergaji di Bawah Rp5 juta, Bagaimana Pengawasannya
- bbc
Ombudsman dan pengamat kebijakan publik meminta pemerintah memperbaiki sistem pendataan dan pengawasan sebelum merealisasikan rencana pemberian bantuan uang tunai kepada pegawai swasta dengan gaji di bawah Rp5 juta per bulan.
Melalui skema tersebut, setiap pekerja swasta yang memenuhi kriteria akan mendapatkan bantuan uang tunai sebesar Rp600.000 selama minimal empat bulan.
Periode program saat ini tengah dirumuskan oleh pemerintah, namun diharapkan program dapat mulai berjalan paling cepat bulan ini, atau paling lambat September.
Alokasi anggaran untuk program bantuan ini sebesar Rp 31,2 triliun.
Anggota Ombudsman, Ahmad Suadi, mengatakan data penerima bantuan diperluas dengan mencakup para pekerja informal dan warga desa yang tengah mencari pekerjaan di perkotaan untuk bertahan hidup di tengah pandemi.
- `Data tak akurat hingga orang meninggal dapat bansos` problem `lambannya` serapan bansos Covid-19
- `Rakyat khawatir`, BPK akan audit aliran anggaran penanganan Covid-19 yang `cukup dahsyat`
- Data penerima bansos `amburadul, Pak RT ketiban pulung`
"Menurut saya pemerintah harus lebih detail lagi, lebih memperhatikan sektor-sektor informal ini, tenaga buruh atau buruh tani, kaki lima dan sebagainya, mereka butuh sekali penopang kehidupan," ujar Ahmad lewat sambungan telepon kepada BBC Indonesia (06/08).
"Sekarang ini saya melihat ada pergeseran lagi di masyarakat, karena pemerintah tidak konsisten [melakukan pembatasan sosial], ada kecenderungan orang-orang dari kampung itu ke kota lagi, padahal di kota belum ada pekerjaan."
Sementara itu pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mempertanyakan soal pengawasan penyaluran dana bantuan tersebut.
"Nanti pengawasannya bagaimana? Kalau [semua kelompok masyarakat] dikasih uang tunai, bisa kasih dalam bentuk uang atau lewat kupon, sehingga dia bisa misalnya pakai kupon untuk belanja susu anak dan sebagainya, kalau [penyaluran dengan model seperti] sekarang kan bingung," ujarnya.
Yustinus Prastowo, staf khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani, mengaku bahwa database penerima bantuan "masih perlu terus diperbaiki."
Namun ia yakin bahwa database yang akan dipakai oleh pemerintah untuk program ini - yang disediakan oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan - akan menjadi langkah awal yang tepat guna menjamin penyalurannya tepat sasaran.
"Database utamanya [disediakan oleh] Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan.
"Mudah-mudahan itu bisa meng-cover 80% pekerja, sisanya nanti akan coba dicari cara yang juga efektif, termasuk [database] dari kementerian, lembaga, dan asosiasi usaha, sehingga kita bisa capture [penerima bantuan] yang lebih akurat, jangan sampai ada yang berhak tapi tidak bisa mendapatkan hanya karena soal administrasi," jelasnya.
`Irit-irit dulu`
Salah satu pegawai swasta yang mungkin menerima bantuan tersebut adalah Romandona, seorang karyawan pabrik lampu mobil di Bekasi.
Pria berusia 24 tahun itu digaji sekitar Rp4,6 juta per bulannya. Dalam masa pandemi ini, pendapatannya tidak dikurangi oleh perusahaan, namun ia dan istri mengaku harus menahan pengeluaran setiap bulannya.
"Untuk saya sendiri dengan kondisi saat ini, kebutuhan pokok dulu yang diutamakan sama istri. Untuk pengeluaran kalau bisa irit-irit dulu, kan tidak tahu [akan ada] kebutuhan pokok apa, kalau bisa dengan gaji segitu jangan sampai utang lah," ujarnya.
Saat ini ia terpaksa mengurangi uang bulanan yang dikirim bagi orang tuanya di Solo.
"Tanggungan seperti mengirim [uang] orang tua yang awalnya sebulan Rp500.000, sekarang paling Rp150.000-Rp200.000," katanya.
Meski harus berhemat, Romandona masih lebih beruntung ketimbang Ayu, seorang pedagang kopi dan rokok kaki lima di bilangan Kebon Melati, Jakarta Pusat.
Ibu dari lima anak ini mengaku pendapatannya terpukul parah selama pandemi. Uang yang didapatnya dalam satu hari hanya cukup untuk makan.
"Dulu ya lumayan, sekarang gara-gara [pandemi] pendapatannya enggak ada lebihnya," keluhnya.
"Ini saja kemarin listrik sampai mati enggak nyala."
Perempuan berusia 49 tahun itu mengatakan pendapatan bulanannya selama pandemi mungkin hanya Rp 1 juta.
Ayu, yang suaminya bekerja sebagai tukang ojek pangkalan, bertutur bahwa ia sempat tiga kali menerima bantuan sembako, namun bantuan tersebut tidak lagi diterimanya setelah Lebaran.
"Kalau bisa pemerintah kan memperhatikan orang-orang kecil, sekarang saja tukang ojek pangkalan setiap hari gak pernah narik, kalau seperti ini terus kan pendapatan buat makan saja susah, karena buat beli pulsa [untuk anak belajar daring]," keluhnya.
`Perhatikan pekerja sektor informal`
Anggota Ombudsman, Ahmad Suadi, mengatakan bahwa bantuan tersebut sebaiknya diberikan kepada pekerja di sektor-sektor informal seperti Ayu.
"Menurut pengamatan kami di lapangan yang paling membutuhkan adalah justru sektor non-formal, seperti penjual kaki lima, itu mereka tidak tercatat dalam tenaga kerja, juga petani , misalnya. Di masa pandemi Covid-19 ini tempat yang paling aman melindungi mereka baik dari penyakit maupun kelaparan itu adalah desa," jelasnya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik.
"Menurut saya yang tepat ya kasih saja uang ke semua [lapisan masyarakat]. Kalau [hanya untuk pekerja swasta dengan gaji] di bawah Rp5 juta, bagaimana membedakannya? Ini harus [disalurkan ke] karyawan yang kerja digaji, kalau yang [pekerja] informal bagaimana cara menghitungnya? Dia dapat tidak?"
"Menurut saya itu kurang kerjaan, harusnya dikasih uang tunai saja semua, seperti di Filipina dan di Malaysia, [pemerintah] kasih tunai, mahasiswa pun dikasih tunai. Intinya pembagian cash itu adalah supaya terjadi transaksi di bawah, supaya ekonomi jalan."
Menanggapi kritik tersebut, Yustinus Prastowo, staf khusus Menteri Keuangan, mengatakan bahwa pemerintah telah memberikan bantuan sosial kepada pekerja-pekerja di sektor informal melalui skema bantuan sosial lainnya, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai, atau paket sembako.
"Mereka tidak bisa mendapat ini karena skemanya berbeda. Bagi mereka, skema yang tersedia sudah ada, apakah mereka masuk di PKH, BPNT atau kartu sembako.
"Skemanya tidak melalui ini, ini jalur berbeda, ini betul-betul untuk karyawan, kalau pekerja informal masuk skema bansos lainnya yang dikelola oleh Kementerian Sosial," jelasnya.
- Kartu Prakerja gelombang IV segera dimulai, pegiat anti-korupsi: `Tunda dulu sebelum ada perbaikan serius`
- KPK sebut Kartu Prakerja `terdapat konflik kepentingan`, tanda-tanda ke tindak pidana korupsi?
Menurutnya, ada dua pertimbangan pemerintah kenapa karyawan dengan gaji di bawah Rp5 juta mendapat bantuan uang tunai.
"Pertama karena kita lihat skema bansos sudah cukup menyeluruh, sudah menjangkau 40?ri total penduduk dan sudah meng-cover mereka yang masuk keluarga miskin termasuk korban PHK, dan sudah ada insentif [fiskal] untuk pekerja menengah ke atas. Ini malah belum ada untuk kelompok pekerja menengah bawah yang rentan, apalagi UKM juga sudah mendapatkan insentif," ujar Yustinus.
Pertimbangan lainnya, katanya, adalah bahwa saat ini jelas terjadi "penurunan konsumsi masyarakat."
"Setelah dievaluasi, ada insentif existing yang tidak efektif, maka dilakukan realokasi supaya bisa lebih efektif diterima masyarakat dan bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa ASN dan pegawai BUMN tidak mendapatkan manfaat bantuan ini lantaran telah menerima gaji ke-13.
Bagaimana pengawasan program bansos?
Penyaluran sejumlah program bansos selama pandemi kerap bermasalah, seperti temuan Ombudsman dan lembaga riset SMERU Institute baru-baru ini.
Pada Rabu (05/08), Ombudsman mengumumkan bahwa lembaga itu menerima 1.346 pengaduan masyarakat terkait bantuan sosial di tengah pandemi. Sebanyak 22,12 persen pengaduan adalah soal penyaluran yang tidak merata, dan 21,50% mengenai prosedur dan persyaratan penerima bantuan yang dinilai kurang jelas.
"Kalau pengaduan yang tercatat, yang pertama itu soal data, ada orang tidak tercatat, sulit mendaftar, tidak tahu bagaimana caranya memperoleh [bantuan], atau sudah didaftar tapi tidak didapat, dan seterusnya," ujar Ahmad dari Ombudsman.
"Ada beberapa laporan penyimpangan, misalnya ada RT atau RW yang memotong dana itu untuk operasional, karena tidak ada petunjuk teknis dari atas bahwa pelaksanaan itu tidak ada [dana] operasionalnya. Ada juga RT, RW, atau lurah yang mengedepankan saudaranya terlebih dulu."
Dari temuan SMERU Research Institute baru-baru ini, penargetan juga masih belum tepat sasaran lantaran masih ditemukan rumah tangga yang tidak layak menerima bantuan, yang sudah meninggal atau sudah pindah didaftarkan sebagai penerima manfaat tambahan.
Yustinus mengaku bahwa penyaluran bantuan sosial ini akan "penuh tantangan."
"Ini juga penuh tantangan, maka sekarang sedang dikoordinasikan dengan Kementerian Ketenagakerjaan, pemerintah daerah, maupun instansi lain untuk mencari bagaimana cara yang paling mudah dan paling mungkin untuk meng-capture [calon penerima manfaat] terutama yang di luar data BPJS Ketenagakerjaan itu.
"Tentu sedang dipikirkan apakah akan diberi ruang untuk secara voluntary mereka mendaftarkan diri sehingga berhak mendapatkan insentif, dengan memberitahukan bukti dia bekerja, penghasilan dan nomor rekening. Ini sebenarnya yang sedang dicari jalan tengah yang paling mungkin, karena butuh kecepatan dalam hal ini," jelas Yustinus.