Petani Beberkan Dampak Penyederhanaan dan Kenaikan Cukai Rokok
- ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho
VIVA – Rencana kenaikan dan simplifikasi (penyederhanaan) cukai ditegaskan hanya akan berdampak pada turunnya harga tembakau di tanah air. Hal itu jelas merugikan masyarakat petani tembakau Indonesia.
Karena itu, Asosisi Petani Tembakau Indonesia (APTI), mendesak DPR menolak rencana pemerintah itu. Khususnya Kementerian Keuangan yang akan menaikkan dan melakukan simplifikasi pemungutan cukai rokok di tahun 2021 mendatang.
Ketua APTI Jawa Barat Suryana mengatakan, desakan itu pun telah disampaikan dalam pertemuan dengan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa di DPR pada pekan ini.
“Kenaikan cukai tembakau itu efek yang dirasakan petani sangat terasa karena harga tembakau anjlok dengan turunnya permintaan pabrikan. Bahkan, pengusaha cenderung tidak mau membeli tembakau yang dihasilkan petani lokal," ujar Suryana dikutip dari keterangan resminya, Jumat 10 Juli 2020.
Lebih lanjut Suryana menjelaskan, berdasarkan pengalaman tahun 2019, pemerintah menaikkan cukai dan harga jual eceran (HJE) tembakau masing-masing sebesar 23 persen dan 35 persen telah membuat hasil panen petani tembakau selama 6 bulan tidak ada yang membeli.
Dari kasus tersebut, pihaknya mengambil kesimpulan bahwa pertama ada penurunan harga jual tembakau dari petani. Kedua adanya penurunan produksi dan ketiga adanya penurunan volume.
Baca juga: Pemerintah Tunda Pengenaan Cukai Kantong Plastik Akibat Covid-19
"Kami sampaikan kepada (Fraksi PKB DPR RI) yang pertama kami menolak terhadap kenaikan cukai tahun 2021. Karena dengan kenaikan cukai 23 persen dan HJE 35 persen sangat memberatkan bagi para petani tembakau karena berimbas kepada penurunan harga jual tembakau,“ tegas Suryana.
Sedangkan, penolakan terhadap rencana simplikasi pemungutan cukai, menurut Suryana, dikarenakan kebijakan tersebut direncanakan dan hanya menguntungkan pabrikan atau perusahaan rokok besar asing yang ada di Indonesia. Hal tersebut pada akhirnya akan sangat merugikan para petani tembakau dan juga pabrik rokok lainnya.
“Jadi menurut kami perusahaan besar tersebut merasa takut tersaingi. Bisa dibilang itu salah satu strategi perang dagang,” urai Ketua APTI Jawa Barat Suryana.
Menurut Suryana, pihaknya menyampaikan kepada DPR RI, konsekuensi lain penerapan kebijakan itu adalah akan banyak bermunculan pengusaha pengusaha rokok illegal.
Dalam pertemuannya dengan Fraksi PKB DPR RI itu menurut Suryana, pihaknya juga menyampaikan penolakan atas revisi Keputusan Presiden (Kepres) No 109. Karena Kepres tersebut sampai sekarang belum dilaksanakan secara konsisten.
“Kami juga meminta kepada DPR RI untuk mendorong pemerintah mengenai pengalokasian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau atau DBHCHT. Dana yang minimal 50 persen untuk kesehatan itu dikembalikan 50 persen nya untuk 5 bidang kegiatan," ungkapnya.
Menurutnya, para petani sepakat dana itu sebagian dialihkan untuk penanggulangan COVID-19. Tetapi, harus diperhatikan juga peran dana itu untuk mendorong kegiatan petani tembakau.
"Kami setuju tapi tentu saja jangan dihabiskan di sana karena para petani juga memiliki hak untuk alokasi dana tersebut,” papar Suryana.
Dijelaskan Suryana, tanggapan Fraksi PKB khususnya anggota Komisi IV DPR RI pun sangat positif. Mereka mendukung apa yang sedang diperjuangkan pengurus APTI.
Selain itu, mereka akan menyampaikan kepada komisi IV DPR RI dan pemerintah terkait keluhan para petani tembakau. DPR, pemerintah, petani dan pengusaha (Industri rokok) rencananya akan kembali mengadakan pertemuan mengenai hal ini.
“Hasil kongkret dari pertemuan tersebut yang pertama yaitu (Fraksi PKB DPR RI) meminta) para petani tembakau agar tetap eksis dalam bidang pertaniannya dan juga mempertahankan hal itu sebagai bagian dari warisan budaya bangsa dan juga penyumbang besar pemasukan negara,” ungkapnya.
“Kedua, ke depannya akan membenahi regulasi terkait cukai tembakau mulai saat ini,” tambahnya.