Pemerintah Perlu Deteksi Industri yang Tahan Banting Saat Wabah Corona
- Viva.co.id/Mitra Angelia
VIVA – Dalam mengatasi permasalahan ekonomi nasional yang memburuk akibat wabah COVID-19 selama beberapa bulan ini, pemerintah perlu menjaga sisi demand (permintaan) dan supply (Penyediaan) masyarakat.
Dari sisi demand, masyarakat harus terus bekonsumsi. Untuk itu pemerintah perlu memberikan bantuan baik bantuan langsung tunai (BLT) atau subsidi kepada masyarakat yang kurang mampu agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sekaligus melakukan konsumsi.
Sementara dari sisi supply, pemerintah berkewajiban untuk menjaga agar industri di tanah air tetap berpoduksi. Selain untuk menjaga ketersediaan stok berbagai barang yang dibutuhkan masyarakat, juga agar tenaga kerja tetap terserap, juga ada pajak yang dapat dibayarkan kepada negara sehingga negara juga memiliki pendapatan, perekonomian juga bisa kembali bergulir.
“Jika kita bicara pemulihan ekonomi, kita bicara sektor mana yang bisa bertahan, sektor mana yang bisa cepat pulihnya. Untuk itu pemerintah perlu mendeteksi industri apa saja yang punya daya tahan yang baik selama wabah COVID-19 ini," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya, Prof Dr Chandra Fajri Ananda lewat rilis yang diterima VIVA.
Industri Tembakau
Chandra juga mengatakan, selama masa resesi ekonomi ini dimana industri nya tetap berjalan, tenaga kerjanya juga tetap harus terserap, sehingga dapat menggerakan perekonomian nasional. Industri yang bertahan ini biasanya, bahan bakunya tersedia di dalam negeri. Sehingga tidak terganggu dengan adanya wabah COVID-19 yang melanda seluruh dunia.
Menurut Chandra, salah satu industri yang bertahan itu adalah industri hasil tembakau atau industri rokok.
Lebih lanjut Prof Chandra Fajri Ananda menjelaskan, alasan mengapa industri hasil tembakau merupakan salah satu industri yang mampu bertahan bahkan di masa wabah COVID-19, pada saat industri lain sebagian mati atau menghentikan produksinya. Salah satunya adalah karena, bahan baku yang dipakai industri rokok tersedia di dalam negeri. Sehingga tidak perlu melakukan impor dari negara lain yang juga sedang dilanda wabah COVID-19 yang menyerang warganya.
“Industri yang bertahan hingga saat ini meski di massa wabah COVID-19 sehingga membantu menggerakan perekonomian nasional, salah satunya adalah industri hasil tembakau, katanya.
Maka menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan lagi untuk mempertahankan industri rokok dan juga industri industri lain yang masih bertahan. "Industri Rokok adalah industri yang masih bisa memberikan pemasukan kepada negara lebih dari 162 triliun setiap tahunnya. Adakah industri lain yang bisa menggantikan posisi industri hasil tembakau,” tanya Fajri Ananda.
Untuk itu, lanjut Prof Chandra Fajri Ananda, di satu sisi pemerintah perlu menjaga kesehatan masyarakat. Namun di sisi lain pemerintah harus menjaga kesinambungan fiskal. Pemerintah perlu menjaga penerimaan negara. Salah satu penerimaan penting negara didapat dari sektor industri hasil tembakau nasional.
“Menjaga kesehatan masyarakat tidak bisa hanya dengan menaikkan tarif cukai setinggi tingginya. Sebab, jika cukai rokok dinaikan, itu tidak akan menghentikan masyarakat mengkonsumsi rokok.”
Chandra menilai, masyarakat justru berpotensi tetap mengkonsumsi rokok namun beralih ke rokok illegal atau rokok import yang tidak bayar cukai. Ini akan lebih berbahaya lagi. Dalam rangka menaikkan pendapatan negara lewat cukai rokok dan menghentikan masyarakat mengkonsumsi rokok, yang terjadi penerimaan negara dari cukai rokok turun, masyarakat tetap mengkonsumsi rokok, tapi rokok illegal. “Yang diperlukan adalah pembinaan juga terhadap industri rokok sebagaimana yang telah terjadi saat ini,” papar Prof Chandra Fajri Ananda.
Road Map Cukai
Doktor lulusan salah satu universitas terbaik di Jerman ini juga sepakat dengan permintaan para pelaku industri hasil tembakau, agar di tahun 2020 ini pemerintah tidak menaikan cukai rokok. Hal ini karena kondisi perekonomian yang berat, daya beli masyarakat yang rendah. Karena itu semua pelaku industri perlu mendapatkan stimulus perekonomian dari pemerintah. Termasuk sektor industri rokok.
Menurut Chandra, pemerintah di satu sisi perlu penerimaan negara, lewat cukai. Di sisi lain, pemerintah juga perlu mempertahankan industri yang menyerap tenaga kerja yang banyak. Agar tidak menambah jumlah pengangguran dan tidak menambah jumlah orang miskin.
"Karena itu saya yakin pemerintah akan bijaksana."
Yang terbaik menurutnya, untuk tahun 2020 ini memang pemerintah tidak menaikan cukai rokok. Karena meski industri hasil tembakau bertahan di masa krisis, tetap mengalami kesulitan di bidang distribusi, baik distribusi hasil produksi maupun distribusi sumber bahan baku, karena adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB.
Terhadap kekhawatiran para pelaku industri rokok, kejadian tahun 2019 terulang kembali. Tahun 2018 pemerintah tidak menaikkan cukai rokok, namun tahun 2019 pemerintah menaikan cukai rokok dengan persentase yang sangat besar. Fajri Ananda berpendapat hal tersebut tidak akan terjadi lagi apabila masing -masing pihak duduk bersama dan berdiskusi.
“Pemerintah dan perwakilan masyarakat pelaku industri hasil tembakau perlu duduk bersama. Sampaikan apa kebutuhan pemerintah dan apa kebutuhan masyarakat. Jika semua duduk bersama, sebelum memutuskan persentase kenaikan cukai, saya yakin kenaikan cukai tidak akan besar dan bisa diterima semua pihak,” papar Fajri Ananda.
Untuk itu, guru besar FEB Universitas Brawijaya ini, mengusulkan kepada pemerintah untuk segera membuat peta jalan atau road map cukai. Jika sudah ada road map cukai, setiap tahun pemerintah dan masyarakat tidak perlu lagi diributkan oleh polemik berapa persentasi kenaikan cukai dan produk apa saja yang dikenai cukai. Jika road mapnya sudah ada, petunjuknya menjadi lebih jelas. Masing masing pihak dapat mempersiapkan secara baik dan saling memahami.
Dengan adanya road map cukai, kebutuhan penerimaan negara dari cukai tidak perlu dibebankan kepada beberapa komoditas. Tapi, ada produk atau komoditas lain yang terus digali untuk dikenai cukai. Sehingga, penerimaan negara dari cukai bisa ditingkatkan dan divariasikan.
“Di negara lain, juga sudah banyak komoditas yang kena cukai. Bukan hanya rokok dan minuman alkohol saja. Tapi juga makanan dan minuman lain. Plastik, minuman bersoda. Bahkan, untuk mengurangi penggunaan mobil pribadi dan mengurangi pencemaran lingkungan, bensin juga bisa dikenai cukai,” papar Chandra Fajri Ananda