Surati Para Camat, Reputasi Moncer Stafsus Andi Taufan Tercoreng
- wartaekonomi
Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Agaknya, peribahasa itu tepat untuk menggambarkan hal yang Andi Taufan Garuda Putera alami pascaramainya pemberitaan mengenai surat yang ia kirim ke para camat.
Mirip seperti kejadian yang menimpa Achmad Zaky saat mengomentari dana penelitian dan pengembangan di Indonesia, bukan tidak mungkin blunder yang Andi lakukan akan berdampak terhadap reputasi Amartha.
Perlu diketahui, Andi Taufan sudah mulai merintis Amartha sejak 2010 untuk memberi pembiayaan kepada masyarakat yang mau berbisnis tetapi tak punya modal. Konsep awal startup tersebut mirip dengan prinsip Grameen Bank.
Bermodalkan uang Rp10 juta, Taufan turun ke area pedalaman di Ciseeng, Bogor dan menemukan banyak masyarakat yang belum punya akses ke lembaga keuangan modern seperti bank. Dari situ, dimulailah perjalanannya menjalankan bisnis Amartha.
Amartha mengubah bertransformasi menjadi peer-to-peer lending, dengan tujuan: memudahkan untuk mendukung sektor ekonomi informal, katanya.
Dari Ciseeng, Amartha terus memperluas operasionalnya. Pada 2017, Amartha mengklaim sudah menyalurkan dana ke 500 desa di pulau Jawa, melibatkan lebih dari 70 ribu mitra.
Setahun kemudian, Amartha memperluas jangkauan pendanaan ke 3.500 desa, bekerja sama dengan lebih dari 178 ribu mitra. Fintek itu berhasil menyalurkan Rp700 miliar saat itu, meningkat lebih dari 200?ripada 2017. Di tahun yang sama, Amartha juga memperluas sayap bisnis ke pulau Sumatra.
Saat ini, perusahaan itu telah menyalurkan Rp2,37 triliun kepada para nasabah berkelompok, terdiri dari 15-20 orang.
Blunder yang Dilakukan Sang CEO Amartha
Sekadar informasi, Belakangan ini, Andi Taufan Garuda Putra banyak dibicarakan oleh para politikus hingga warganet karena langkah keliru yang ia ambil ketika mengirim surat pengajuan kerja sama untuk PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) kepada para camat di Indonesia.
Apa yang dimasalahkan oleh berbagai politisi dan warganet? Pertama, Andi Taufan Garuda Putra dinilai menyalahi prosedur birokrasi karena mengirim surat tersebut atas nama Sekretariat Kabinet, padahal pihak Amartha harusnya mengirim surat permohonan ke Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, lalu lembaga itulah yang berhak mengirimkan surat kepada kepala daerah (camat).
Kedua, karena Andi Taufan Garuda Putra merupakan pendiri dan CEO dari startup fintech Amartha. Banyak pihak yang menilai Andi memanfaatkan posisinya sebagai stafsus untuk kepentingan perusahaannya.