Bisnis Gendut Para Jenderal Iran

AFP/Iranian Presidency
Sumber :
  • dw

"Pasukan Pengawal Revolusi Islam", itulah julukan Garda Revolusi di Iran, sebuah organisasi paramiliter yang sangat berpengaruh. Baru saja parlemen Iran memutuskan penambahan anggaran organisasi itu secara mencolok.

Selain pengaruh politik, Garda Revolusi juga menggerakkan perekonomian. Empat yayasan Garda Revolusi menguasai lebih dari 60 persen perekonomian, kata Behzad Nabavi, politisi reformis yang dulu pernah menjabat wakil ketua parlemen.

Keempat yayasan yang disebut-sebut oleh Behzad Nabavi adalah:

- "Khatam El-Anbiya", unit bisnis Garda Revolusi.

- "Setad Ejarie farmene Imam", yang antara lain menguasai sektor perbankan, minyak dan telekomunikasi.

- Bonyade Mostafazin, yang modalnya berasal dari harta sitaan dari anggota rezim Shah Pahlevi.

-Astan-e Qods-e Razavi, yang memiliki lebih 50 perusahaan dan pabrik.

Keempat yayasan beroperasi di zona abu-abu antara bisnis pribadi, bisnis negara, bisnis militer dan bisnis keagamaan.

"Dari bentuk organisasi, kebanyakan bank di Iran adalah perseroan", kata Michael Tockuss, Direktur Kamar Dagang Jerman-Iran yang berkedudukan di Hamburg.

"Tapi sahamnya sering dimiliki oleh perusahaan negara". Itu sebabnya, banyak jajaran pimpinannya berasal dari militer atau kalangan pemerintahan. Di banyak perusahaan swasta, hal itu memang lumrah. Banyak perusahaan yang dipimpin "sampai tiga pensiunan jenderal", katanya.

Korupsi dan nepotisme

Kaitan erat antara dunia perekonomian, politik dan militer menyuburkan praktek korupsi dan nepotisme. Bahkan Presiden Hassan Rouhani sering mengkritik praktek ini dan menuntut reformasi. November lalu, Rouhani menuntut lembaga peradilan untuk lebih serius mengusut kasus-kasus korupsi besar. "Mana ikan kakapnya? Kenapa mereka tidak dikejar", kata Rouhani.

Pengaruh politisi kalangan reformis memang kecil dibanding para jenderal dan Mullah. Yayasan-yayasan militer sering memenangkan proyek-proyek pemerintahan, yang cukup sering dibagikan tanpa proyek penawaran terbuka.

Terutama sejak AS menjatuhkan kembali sanksi ekonomi terhadap Iran, perekonomian gelap makin meluas. Banyak barang, terutama minyak, dijual secara gelap lewat negara-negara tetangga. Itu sebabnya, kata Michael Tockuss, sampai sekarang tidak ada yang tahu pasti, berapa banyak minyak dari Iran yang diekspor. "Masa-masa sanksi ekonomi bukan masa baik untuk tranparansi dan kemajuan ekonomi", lanjutnya.

Masih tergantung pada minyak

Minyak memang masih tetap merupakan pembawa devisa yang terpenting bagi Iran. Itu sebabnya, sanksi ekonomi yang diterapkan AS benar-benar menyulitkan. Perekonomian merosot drastis, harga-harga melangit dan memicu inflasi. Dalam pidato 12 November lalu, Presiden Hassan Rouhani secara terbuka mengeluhkan hal ini: "Bagaimana kita bisa mengelola negara, kalau untuk menjual minyak saja sudah bermasalah?"

Rouhani menghadapi dilema besar. Untuk membangkitkan ekonomi, dia perlu membenahi anggaran negara, misalnya dengan meningkatkan pajak. Tapi langkah itu berisiko karena bisa menyulut aksi protes masyarakat.

Banyak warga Iran yang mulai tidak sabar dengan pemerintahnya, apalagi melihat korupsi yang justru merajalela di kalangan pejabat. Makin besar kekecewaan terhadap pemerintah, makin terbuka kemungkinan pengambilalihan kekuasaan oleh kalangan militer dengan dalih untuk menyelamatkan situasi. Kalau itu terjadi, bisa dipastikan akan ada lebih banyak sensor dan represi terhadap warga yang menuntut keterbukaan dan berunjuk rasa menentang korupsi. (hp/pkp)