Cerita Warga RI Pilih Jadi Sopir Bus di Australia
- abc
Tidak sedikit warga Indonesia yang pergi ke Australia untuk mengadu nasib sebagai mahasiswa ataupun berharap untuk bekerja di bidang tertentu sesuai dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki.
Namun bagi sebagian, menduduki posisi pemimpin ataupun pekerjaan yang terkesan "mewah" justru mendatangkan rasa lelah dan tidak puas.
Bagaimana kisah warga Indonesia yang sudah memiliki jabatan "bergengsi" namun justru banting setir dan bekerja sebagai sopir bus di Australia?
Edwin Kusuma dan Rita Gunawan adalah sepasang suami istri asal Indonesia yang bekerja sebagai sopir bus untuk perusahaan transportasi di Sydney, Australia bernama Busways.
Sebelum mengadu nasib di negara tetangga, Edwin pernah bekerja sebagai di bidang IT di Bank Indonesia di Jakarta selama delapan tahun.
Sedangkan, juga di Jakarta dengan jangka waktu yang sama, Rita pernah menduduki jabatan sebagai kepala keuangan perusahaan distributor listrik sebelum akhirnya pindah ke Australia di tahun 2010.
Foto: supplied
Pengalaman mencari nafkah tanpa jam kerja tetap seperti di perkantoran membuat Rita menyadari bahwa selain memberikan pendapatan yang menurut Rita cukup menarik, pekerjaan itu juga memberikan banyak waktu luang untuk ia habiskan dengan keluarga.
"[Bekerja sebagai] sopir bus tidak mengikuti jam kerja kantor sehingga kami ada waktu untuk mengurus keperluan keluarga seperti mengantar anak atau orangtua ke dokter, menghadiri kegiatan sekolah anak di siang hari dan mengantar orangtua belanja."
Setelah melihat suami menjadi sopir bus selama tiga tahun lamanya, Rita yang kini sudah menjalani pekerjaan tersebut selama satu tahun tidak memiliki rencana untuk mencari pekerjaan lain.
"Kami saat ini tidak berpikir untuk pindah kerja setelah cukup lama bekerja di kantor saat di Indonesia," kata lulusan Sarjana Ekonomi Universitas Surabaya tahun 2002 itu kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
"Hal-hal yang membuat kami berpikir pekerjaan ini menyenangkan adalah [karena pekerjaan ini] santai. Pulang kerja tidak memikirkan tugas kantor yang menumpuk dan kalau bekerja lembur digaji."
Koki jadi sopir bus
Pandangan yang sama juga dimiliki oleh orang Indonesia asal Jakarta Charles Gultom yang bekerja di Melbourne dalam perusahaan transportasi bernama CDC Victoria juga sebagai sopir bus. Selama delapan tahun, Charles Gultom bekerja sebagai koki di restoran yang berbeda-beda.
Di awal tahun 2017, laki-laki berusia 49 tahun tersebut masih bekerja di dapur sebuah hotel bintang lima di Melbourne sebelum akhirnya memutuskan untuk melamar sebagai sopir bus di Juni 2017.
"Saya pindah kerja karena ingin mengurangi tekanan. Kerja di dapur tekanannya tinggi. Saya ingin cari pekerjaan baru yang lebih rileks. Kerja jadi sopir bus ini rileks, santai dan tidak begitu banyak beban."
Meski harus menjalani masa adaptasi selama dua bulan saat mulai bekerja, laki-laki yang pindah ke Selandia Baru bersama istrinya di tahun 2000 sebelum akhirnya menetap di Australia itu tidak menyesal meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai koki.
"Pertama saja ketika masa pelatihan kita harus hafal jalan selama dua bulan tapi setelah itu tidak ada yang dipikirkan lagi saat bekerja," kata Charles yang kini sudah memegang 30 rute perjalanan dan 20 rute antar jemput sekolah itu.
"Kalau koki pulang harus memikirkan apa yang harus dipersiapkan besok. Kalau jadi sopir bus tidak. Selesai kerja tidak ada lagi yang dipikirkan."
Ia pun tidak menyesalkan pendapatan yang bisa mencapai $AUD 100,000 (Rp 955 juta rupiah) per tahunnya sebagai sopir bus.
Charles mengatakan, besarnya angka pendapatan itu pada umumnya adalah pendapatan sopir bus yang suka mengambil waktu lembur untuk mendapatkan penghasilan lebih seperti dirinya sendiri.
"Gaji per jam (rate) [menjadi sopir bus] lebih bagus dibandingkan kerja di dapur. Kalau ditawari bekerja melebihi waktu, ratenya jadi dua kali lipat."
Tantangan di jalan
Walau memberikan pendapatan sebesar $AUD 80 ribu (Rp 764 juta) per tahunnya, pekerjaan ini memberikan tantangan tersendiri bagi Rita Gunawan ibu yang memiliki dua orang anak tersebut.
Tantangan ini muncul terutama pada masa awal bekerja di mana ia harus menyesuaikan diri dengan teknik mengemudi bus sebagai sebuah kendaraan besar.
"Menjadi sopir bus paling susah adalah saat awal di mana harus punya mental yang besar membawa kendaraan berat," kata perempuan berusia 39 tahun itu.
"Dan melatih kemampuan kami memutar di roundabout, belok di sudut yang sempit, parkir mundur dan mengendalikan rem supaya bisa berhenti tepat waktu tanpa membuat penumpang terjatuh."
Tantangan lain bagi Rita juga meliputi keharusan untuk mempelajari rute bus yang cukup banyak karena adanya larangan menggunakan telepon genggam untuk mengakses layanan GPS saat mengemudi.
"Kami biasanya menggunakan catatan sendiri supaya tidak salah mengambil jalur." kata Rita lagi.
Charles Gultom di sisi lain, melihat keluhan penumpang sebagai salah satu tantangan menjadi sopir bus di Australia.
"Dukanya [sebagai sopir bus] adalah kalau misalnya ada perlakuan penumpang yang tidak enak. Misalnya kalau kita salah jalan mereka marah-marah biasanya," cerita Charles yang berencana untuk menjadi sopir bus hingga lima tahun ke depan.
"Kedua, kalau bus panas, apalagi waktu musim panas, pendingin udara tidak jalan, sudah pasti penumpang juga mengeluh dan kita terpaksa minta ganti bus."
Foto: supplied
Teman dan keluarga terkejut
Selain tantangan, Rita dan Edwin serta Charles harus menghadapi reaksi dari teman-teman dan anggota keluarga mereka di Indonesia.
Rita yang kini memegang izin tinggal Warga Tetap Australia pernah menerima reaksi yang dilihatnya bersifat "meremehkan" di samping dari reaksi positif beberapa anggota keluarga.
"Pandangan keluarga sebagian kaget, sebagian kagum dan ada juga yang meremehkan pekerjaan kami sebagai pekerjaan yang memalukan leluhur."
Seperti keluarga Rita, kebanyakan teman-teman Charles di Indonesia juga terkejut mengetahui pekerjaannya di Australia. Keluarganya namun tidak memberi tanggapan demikian.
"Teman-teman melihat [pekerjaan saya] pasti terkejut. Mereka berkata, "Hanya jadi sopir bus di Australia?" tapi kan mereka tidak tahu uang [yang dihasilkan] seperti apa," kata Charles.
"Kalau keluarga sih tidak masalah. Istri pun tidak masalah yang penting saya senang."
Laki-laki yang pindah ke Australia demi kualitas pendidikan anak-anaknya itu mengatakan meski bekerja sebagai sopir bus, ia tetap dapat memiliki kualitas hidup yang baik di negara tersebut.
"Kalau orang di Indonesia melihatnya begitu. Sedangkan di Australia kita kerja sebagai pekerja penuh waktu bisa membayar biaya hidup di sini. Normal, maksudnya."
"Contoh, saya sebagai sopir bus memiliki total waktu libur dalam satu tahun sebanyak sembilan minggu lamanya yang adalah lebih dari cukup. Gaya hidupnya juga tidak kalah. Walau kerja sebagai sopir tetap bisa liburan dan jalan-jalan."
"Sedangkan di Indonesia [bila menjadi sopir bus] makan saja belum tentu cukup." tambahnya.
Rita melihat reaksi tidak menyenangkan dari beberapa teman ini sebagai inspirasi bagi dirinya beserta suami untuk selalu melangkah ke depan.
Prinsip ini mereka genggam melihat perjuangan yang harus mereka lalui saat hendak pergi ke Australia, saat Rita dan suaminya tidak punya modal untuk berangkat dan akhirnya harus menjual rumah dan seisinya yang saat itu hanya cukup membayar semester pertama tiket asuransi.
"Tapi buat kami cemoohan justru cambukan untuk membuktikan kamu bisa maju dan tentu saja punya kehidupan yang lebih baik," kata Rita yang saat ini telah memiliki rumah sendiri dan tinggal bersama suami, anak-anak dan orangtuanya.
"Setelah tiga sampai enam bulan [menjadi sopir bus], semua jauh lebih mudah. Kami merasa modal utama menjadi sopir bus adalah untuk tidak mudah menyerah."
Siimak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia