Pajak Industri Digital, Kemenkeu Mau Perusahaan Luar Negeri juga Kena

Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Suahasil Nazara
Sumber :
  • ANTARA FOTO/ICom/AM IMF-WBG/Zabur Karuru

VIVA – Kementerian Keuangan saat ini masih menunggu hasil studi The Organisation for Economic Co-operation and Development atau OECD, untuk menetapkan skema pengenaan pajak bagi Industri digital.

OECD diminta negara-negara G20, untuk melakukan kajian skema pemungutan tersebut.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara mengatakan, hasil studi yang dalam waktu dekat akan disampaikan OECD tersebut, nantinya akan dijadikan acuan pemerintah dalam membuat skema pemajakan terhadap industri digital.

"Hampir di setiap rapat G20 dalam beberapa tahun terakhir, sampai dengan G20 menugaskan OECD membuat studi yang akan dilaporkan segera seperti apa, seharunsya konsep pemajakan ini di tingkat internasional. Nanti, harapan kita hasil studi ini jadi acuan," kata Suahasil di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin 8 Juli 2019.

Dia menjelaskan, pada dasarnya pemerintah berencana menggunakan skema pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen terhadap industri digital. Namun begitu, Indonesia dinilai belum memiliki landasan hukum untuk menerapkan itu terhadap perusahaan yang berbasis di luar negeri atau yang tidak memiliki Badan Usaha Tetap di Indonesia.

Berdasarkan Undang-undang PPN Nomor 42 Tahun 2009, pajak yang dikenakan terhadap barang pertambahan nilai barang dan jasa, dikenakan terhadap Pengusaha Kena Pajak dengan mewajibkan mereka untuk memungut 10 persen pajak terhadap barang atau jasanya yang di beli konsumen.

"Sekarang, bayangkan kalau mau memajaki PPN atas lagu yang ada di handphone, yang harusnya memungut siapa? Ada lagu di spotify, bayar per bulan, harusnya dalam Rp60 ribu, 10 persen PPN tapi sekarang Rp60 ribu yang termina perusahaan yang di sana, yang dibayar lewat operator, jadi sekarang wajib pungutnya siapa? Nah, ini sekarang yang sedang kita tangani," ungkap dia.

Karenanya, kata dia, hal yang memungkinkan untuk menggunakan skema tersebut adalah dengan meninjau ulang UU tersebut. Sehingga, perusahaan digital yang berada di luar negeri atau yang tidak memiliki BUT di Indonesia bisa dikenakan wajib pungut.

"Itu belum bisa kita tentukan dia di luar negeri, jadi kalau nanti kita melakukan review peraturan perundang-undangan itu, nanti yang akan kita tangani bisa dinyatakan perusahan luar negeri sebagai wajib pungut. Sehingga, dia memungut dan menyetorkan ke kas negara. Ini sudah ada di lakukan di beberapa negara, yang saya tahu persis Australia," tegas dia.