Cukai Plastik Bikin Industri Merosot, Begini Penjelasan Kemenperin
- Pixabay/Nuzree
VIVA – Kementerian Perindustrian tidak sepakat tentang pengenaan cukai terhadap kantong plastik yang diinisasi oleh Kementerian Keuangan. Hal itu dikarenakan pengenaan cukai plastik dianggap lebih memberikan dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia.
Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kementerian Keuangan, Taufiek Bawazier, menyatakan kesediaan bahan baku plastik masih membutuhkan impor bahan baku hampir 40 persen, berbeda dengan tembakau dan minuman beralkohol yang relatif tersedia melimpah di dalam negeri.
Dengan begitu, jika pengenaan cukainya diberlakukan sebagaimana untuk rokok dan minuman beralkohol untuk membatasi produksinya, maka sama saja menghilangkan peluang investasi dan penerimaan pajak kepada negara. Di mana produk domestik bruto dari sektor plastik dan karet pada 2018 sekitar Rp92 Triliun.
"Esensi kita membangun daya saing industri salah satunya price yang kompetitif. Jika input produksi sudah ditambah biaya bukan hanya sektor industri terkena imbasnya juga masyarakat pengguna terutama masyarakat kecil juga akan menanggung cost akibat peningkatan produksi," katanya saat dihubungi VIVA, Kamis 4 Juli 2019.
Di menjelaskan jika cukai plastik dikenakan 200 per lembar dan Rp30 ribu per kilogram, maka dengan harga pasar kantong plastik saat ini sekitar Rp25 ribu per kilogram akan menurunkan permintaan kantong plastik sebesar 54 persen dari kebutuhan kantong plastik yang ada saat ini.
Adapun produksi kantong plastik nasional, kata Taufiek sekitar 360 ribu ton per tahun. Sehingga, jika dikenakan cukai tersebut maka akan berpotensi kehilangan nilai jual sekitar Rp600 miliar per tahun dan potensi pertumbuhan industri plastik juga akan menurun.
"Ini logikanya mengambil sesuatu bukan menambah nilai, tetapi menurunkan nilai ekonomi di sisi yang lain. Termasuk ekosistem plastik berdampak jumlah pemulung yang hampir empat juta orang biasa mendapat pemasukan dari volume plastik yang banyak untuk dikirim ke industri daur ulang juga menurun," tegas dia.
Karena itu, dia menilai, jika tujuan pengenaan cukai tersebut untuk pengendalian sampah plastik, Kementerian Keuangan justru harus mengeluarkan insentif fiskal lain, khususnya untuk industri daur ulang plastik supaya recyling rate Indonesia meningkat dari yang saat ini 14 persen menjadi 25 persen.
Dengan itu, dikatakannya sampah plastik lebih bisa berkurang, pemulung sejahtera, daerah juga mendapat peningkatan pendapatan asli daerah, tenaga kerja terserap banyak dan pemerintah mendapat tambahan pajak.
"Sehingga sektor industri sebagai penyumbang pajak terbesar dan PDB tertinggi dapat meningkat lebih tinggi lagi. Intinya kami menolak dan tidak sependapat dengan argumentasi teknokratik ekonomi industri," tutur Taufiek. (ren)